Islam itu indah, penuh kasih sayang dan tidak
kaku. Begitu juga cara penyebarannya. Meskipun begitu, bukan berarti tidak
konsisten, bahkan sangat konsisten. Hal itu sebab Allah begitu sayang terhadap
hamba-Nya. Bahkan dalam Islam kita mengenal toleransi dan bersosial. Jika mau
menelisik lebih dalam, maka akan banyak kita temukan cara penyebaran Islam yang
unik dan menyenangkan.
Karena kita orang Lamongan, maka saya tidak akan
mengambil contoh yang jauh tentang penyebaran Islam usai masa kerajaan Majapahit
yang mayoritas beragama Hindu dan Budha. Katakan saja Sunan Drajad yang
sekarang dikenal banyak masyarakat baik masyarakat sekitar maupun masyarakat
yang jauh dari jangkauan. Sunan yang memiliki nama kecil Raden Qosim ini
memiliki caranya sendiri dalam penyebaran Islam di masanya.
Dengan cara yang unik beliau mengenalkan agama Islam kepada masyarakat luas yang diawali oleh masyarakat sekitar daerah Drajad Paciran. Metode dakwah bil-hal yang beliau pilih semata untuk mempermudah masuknya Islam dan meyakinkan masyarakat bahwa Islam itu agama yang penuh sosial tinggi. Beliau terlebih dahulu menyentuh tentang kesejahteraan, kemakmurannya, dan mengentas kemiskinan rakyat baru kemudian memasukkan unsur dakwah dan ajaran agama Islam ke dalamnya.
Dengan cara yang unik beliau mengenalkan agama Islam kepada masyarakat luas yang diawali oleh masyarakat sekitar daerah Drajad Paciran. Metode dakwah bil-hal yang beliau pilih semata untuk mempermudah masuknya Islam dan meyakinkan masyarakat bahwa Islam itu agama yang penuh sosial tinggi. Beliau terlebih dahulu menyentuh tentang kesejahteraan, kemakmurannya, dan mengentas kemiskinan rakyat baru kemudian memasukkan unsur dakwah dan ajaran agama Islam ke dalamnya.
Salah satu bukti bahwa Putera Sunan Ampel ini
berdakwah dengan menyentuh kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dengan
sosial tinggi adalah kata-kata beliau yang kemudian saat ini diabadikan dalam
ukiran di dinding makam Sunan Drajad Paciran. Kata-kata tersebut adalah: “Mewehono
teken marang wong kan wuta, mewehono mangan marang wong kang luwe, mewehono busono
marang wong kang wudo, mewehono ngiyub marang wong kang kodanan.”
Secara harfiah artinya adalah: “Berilah tongkat
pada orang yang buta, berilah makan orang yang lapar, berilah pakaian orang
yang telanjang, dan berilah tempat berteduh orang yang kehujanan.” Hal ini
membuktikan bahwa dalam pengenalannya, Islam itu peduli, Islam itu tolong
menolong, dan Islam itu penuh kasih sayang.
Selain metode yang sudah saya sebutkan di atas,
ternyata ada yang unik lagi dari penyebaran Islam oleh Sunan yang saat ini
menjadi kebanggaan warga Lamongan. Yakni cara dakwah beliau dengan
tembang-tembang jawa yang kemudian di dalamnya disisipi keilmuan-keilmuan
Islam. Salah satu dari tembang ciptaan beliau yang terkenal adalah tembang macapat,
yakni tembang pangkur. Kata pangkur tersebut merupakan singkatan
dari pang dan kur maksudnya ialah pangudi isine Kur’an
artinya berusaha mengerti isi Al-Qur’an. Sedangkan kata pangkur sendiri
adalah bahasa Jawa kuna yang artinya pejabat kerajaan yang bertugas mengawasi
agar perintah raja ditaati termasuk mengawasi pejabat yag dilarang memasuki
daerah perdikan. Tembang-tembang tersebut kerap dilantunkan dengan ditemani
gamelan yang diberi nama Singo mengkok (yang saat ini dimuseumkan di
Museum Daerah Drajad yang dibangun oeleh pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II
Lamongan dan di resmikan pada tanggal 31 Maret 1992 oleh Gubernur Jawa Timur).
Jika Sunan Drajad melakukannya pada zaman di saat
masyarakat mayoritas beragama Hindu dan Budha untuk menarik ketertarikan
masyarakat terhadap Islam. Maka, pada zaman sekarang ini sangatlah banyak kita
temui para pendakwah yang kemudian meniru metode beliau berdakwah dengan asyik
dan menarik, yakni mendakwahkan Islam dengan cara menyisipkan lagu-lagu sebagai
daya tariknya. Sebut saja musisi, penuis, budayawan serta pendakwah Emha Ainun
Nadjib yang akrab dipanggil Cak Nun. Cara dakwah beliau bersama Grup musik
Kiyai Kanjeng yang sering tampil di berbagai acara ternyata memiliki daya tarik
tersendiri di mata masyarakat. Orang yang awalnya tidak suka atau merasa bosan
dengan ceramah-ceramah yang monoton, mereka akan merasa fresh ketika sesekali
isi dari cerama itu kemudian dikemas dalam bentuk lagu. Selain itu, tentu hal
itu akan lebih mudah diingat dan lebih mudah diterima. Lagi, pedangdut H. Rhoma
Irama juga mengenalkan dan mendakwahkan keIslaman melaui lantunan
musik-musiknya. Dan itu terbukti ampuh untuk menyelipkan pengetahuan dan
hakikat isi Islam di benak setiap masing-masing orang. Terutama bagi mereka
yang mencintai musik, secara tidak sadar mereka sedang melantunkan syair
keagamaan dan syair nasihat. Begitu juga mereka para pencipta musik sholawat
dan musik-musik keagamaan yang digunakan sebagai alat berdakwah bagi
penciptanya.
Di lingkungan kita lebih banyak lagi. Setiap kita
pasti pernah menemukan kiyai atau ulama yang berdakwah baik dalam acara
pengajian maupun acara pernikahan yang kemudian dalam ceramahnya di sisipi
lagu-lagu Islami atau lagu-lagu yang liriknya diganti dengan isi keIslaman. Hal
ini terjadi tidak lain untuk lebih menyentuh, menarik dan lebih mengena pada
hati dan pribadi orang yang mendengarkannya.
Walaupun demikian, terkadang tidak semua dari hal
tersebut memiliki nilai positif. Maksud saya, ketika dengan dalih dakwah
menggunakan musik tersebut tidak disertai dengan penataan niat dan etika dalam
hati, tentunya akan berbeda hasilnya. Alih-alih menghimbau agar tidak
bermaksiat tapi justru mendatangkan maksiat, alih-alih ingin menciptakan
perdamaian tapi malah berujung pertikaian, dan alih-alih ingin bershodaqoh ilmu
agama tapi justru menjadi penjaja ilmu agama.
Bagaimana tidak? Ketika niat sudah ditata, tapi
etika tak terjamah maka bermusik yang awalnya bermaksud menyampaikan
pesan-pesan syiar agama, berubah menjadi ajang jogetan dan tak jarang yang
kemudian saling senggol yang berujung pertikaian. Selain itu, jika sejak
berangkat niatan dakwah tidak dibenahi, akhirnya ketika seharusnya ilmu agama
itu di shodaqohkan, malah berubah menjadi dijajakan dengan tarif yang bervariatif,
yang lebih parah lagi jika beliau menolak hadir sebab nominal yang ditawarkan
tidak terpenuhi. (Owhh ini buruk sekali)
Pasti akan ada yang ajukan protes. “Pendakwah juga
butuh menghidupi diri dan keluarganya. Penyanyi juga butuh biaya perawatan alat
musik yang digunakan berdakwah itu. Lalu dapat uang dari mana kalau bukan dari
tarif tersebut?” Bla.. bla.. bla... Baiklah, saya terima protes tersebut. Tak
ada yang memungkiri bahwa hidup ini butuh biaya hidup yang tak lain adalah uang.
Tapi setidaknya tidak lantas memasang tarif bukan?? Apalagi jika sudah kepleset
niat, jadilah agama dibisniskan.
Walaupun hal tersebut tidak semua terdapat pada
pribadi para ulama, namun alangkah baiknya kalau kita lebih berhati-hati dan
menata kembali niatan dalam hati kita. Sebab seseorang yang sedang kita tiru
adalah bukan orang yang seperti itu. Kanjeng Sunan Drajad mendakwahkan Islam
dengan budaya, musik, dan hal unik lainnya untuk menarik masyarakat yang
kemudian membawa mereka masuk dan memelukagama Islam. Bahkan Sunan Drajad memberikan
contoh dalam dakwahnya beliau adalah menyantunyi para fakir miskin. Beliau rela
memberikan apapun yang beliau miliki untuk kelancaran dakwahnya. Sehingga
ketika keberhasilan itu tercapai, beliau mendapatkan gelar Sunan Mayang Madu
dari Raden Fatah, sultan Demak I.
Akhirnya, jika kita
tidak bisa memberikan kebahagiaan pada orang lain, paling tidak jangan
tambahkan kesulitan baginya. Jika kita tidak bisa memberi yang gratis pada
orang lain, paling tidak jangan menambahkan bebannya.
DAFTAR
PUSTAKA
---------, Lamongan
Memayu Raharjaning Praja. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan.
1994.
Tim, Aneka
Data Potensi Kabupaten Lamongan. Kantor Informasi dan Komunikasi Kabupaten
Lamongan. 2008.
Juara harapan II kategori Non Fiksi
Lomba Menulis Jejak Lamongan, 26 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar