Laman

Sabtu, 07 Juni 2014

TEMBANG JADIKAN ISLAM BERKEMBANG


Islam itu indah, penuh kasih sayang dan tidak kaku. Begitu juga cara penyebarannya. Meskipun begitu, bukan berarti tidak konsisten, bahkan sangat konsisten. Hal itu sebab Allah begitu sayang terhadap hamba-Nya. Bahkan dalam Islam kita mengenal toleransi dan bersosial. Jika mau menelisik lebih dalam, maka akan banyak kita temukan cara penyebaran Islam yang unik dan menyenangkan.
Karena kita orang Lamongan, maka saya tidak akan mengambil contoh yang jauh tentang penyebaran Islam usai masa kerajaan Majapahit yang mayoritas beragama Hindu dan Budha. Katakan saja Sunan Drajad yang sekarang dikenal banyak masyarakat baik masyarakat sekitar maupun masyarakat yang jauh dari jangkauan. Sunan yang memiliki nama kecil Raden Qosim ini memiliki caranya sendiri dalam penyebaran Islam di masanya.
Dengan cara yang unik beliau mengenalkan agama Islam kepada masyarakat luas yang diawali oleh masyarakat sekitar daerah Drajad Paciran. Metode dakwah bil-hal yang beliau pilih semata untuk mempermudah masuknya Islam dan meyakinkan masyarakat bahwa Islam itu agama yang penuh sosial tinggi. Beliau terlebih dahulu menyentuh tentang kesejahteraan, kemakmurannya, dan mengentas kemiskinan rakyat baru kemudian memasukkan unsur dakwah dan ajaran agama Islam ke dalamnya.
Salah satu bukti bahwa Putera Sunan Ampel ini berdakwah dengan menyentuh kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dengan sosial tinggi adalah kata-kata beliau yang kemudian saat ini diabadikan dalam ukiran di dinding makam Sunan Drajad Paciran. Kata-kata tersebut adalah: “Mewehono teken marang wong kan wuta, mewehono mangan marang wong kang luwe, mewehono busono marang wong kang wudo, mewehono ngiyub marang wong kang kodanan.”
Secara harfiah artinya adalah: “Berilah tongkat pada orang yang buta, berilah makan orang yang lapar, berilah pakaian orang yang telanjang, dan berilah tempat berteduh orang yang kehujanan.” Hal ini membuktikan bahwa dalam pengenalannya, Islam itu peduli, Islam itu tolong menolong, dan Islam itu penuh kasih sayang.
Selain metode yang sudah saya sebutkan di atas, ternyata ada yang unik lagi dari penyebaran Islam oleh Sunan yang saat ini menjadi kebanggaan warga Lamongan. Yakni cara dakwah beliau dengan tembang-tembang jawa yang kemudian di dalamnya disisipi keilmuan-keilmuan Islam. Salah satu dari tembang ciptaan beliau yang terkenal adalah tembang macapat, yakni tembang pangkur. Kata pangkur tersebut merupakan singkatan dari pang dan kur maksudnya ialah pangudi isine Kur’an artinya berusaha mengerti isi Al-Qur’an. Sedangkan kata pangkur sendiri adalah bahasa Jawa kuna yang artinya pejabat kerajaan yang bertugas mengawasi agar perintah raja ditaati termasuk mengawasi pejabat yag dilarang memasuki daerah perdikan. Tembang-tembang tersebut kerap dilantunkan dengan ditemani gamelan yang diberi nama Singo mengkok (yang saat ini dimuseumkan di Museum Daerah Drajad yang dibangun oeleh pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan dan di resmikan pada tanggal 31 Maret 1992 oleh Gubernur Jawa Timur).
Jika Sunan Drajad melakukannya pada zaman di saat masyarakat mayoritas beragama Hindu dan Budha untuk menarik ketertarikan masyarakat terhadap Islam. Maka, pada zaman sekarang ini sangatlah banyak kita temui para pendakwah yang kemudian meniru metode beliau berdakwah dengan asyik dan menarik, yakni mendakwahkan Islam dengan cara menyisipkan lagu-lagu sebagai daya tariknya. Sebut saja musisi, penuis, budayawan serta pendakwah Emha Ainun Nadjib yang akrab dipanggil Cak Nun. Cara dakwah beliau bersama Grup musik Kiyai Kanjeng yang sering tampil di berbagai acara ternyata memiliki daya tarik tersendiri di mata masyarakat. Orang yang awalnya tidak suka atau merasa bosan dengan ceramah-ceramah yang monoton, mereka akan merasa fresh ketika sesekali isi dari cerama itu kemudian dikemas dalam bentuk lagu. Selain itu, tentu hal itu akan lebih mudah diingat dan lebih mudah diterima. Lagi, pedangdut H. Rhoma Irama juga mengenalkan dan mendakwahkan keIslaman melaui lantunan musik-musiknya. Dan itu terbukti ampuh untuk menyelipkan pengetahuan dan hakikat isi Islam di benak setiap masing-masing orang. Terutama bagi mereka yang mencintai musik, secara tidak sadar mereka sedang melantunkan syair keagamaan dan syair nasihat. Begitu juga mereka para pencipta musik sholawat dan musik-musik keagamaan yang digunakan sebagai alat berdakwah bagi penciptanya.
Di lingkungan kita lebih banyak lagi. Setiap kita pasti pernah menemukan kiyai atau ulama yang berdakwah baik dalam acara pengajian maupun acara pernikahan yang kemudian dalam ceramahnya di sisipi lagu-lagu Islami atau lagu-lagu yang liriknya diganti dengan isi keIslaman. Hal ini terjadi tidak lain untuk lebih menyentuh, menarik dan lebih mengena pada hati dan pribadi orang yang mendengarkannya.
Walaupun demikian, terkadang tidak semua dari hal tersebut memiliki nilai positif. Maksud saya, ketika dengan dalih dakwah menggunakan musik tersebut tidak disertai dengan penataan niat dan etika dalam hati, tentunya akan berbeda hasilnya. Alih-alih menghimbau agar tidak bermaksiat tapi justru mendatangkan maksiat, alih-alih ingin menciptakan perdamaian tapi malah berujung pertikaian, dan alih-alih ingin bershodaqoh ilmu agama tapi justru menjadi penjaja ilmu agama.
Bagaimana tidak? Ketika niat sudah ditata, tapi etika tak terjamah maka bermusik yang awalnya bermaksud menyampaikan pesan-pesan syiar agama, berubah menjadi ajang jogetan dan tak jarang yang kemudian saling senggol yang berujung pertikaian. Selain itu, jika sejak berangkat niatan dakwah tidak dibenahi, akhirnya ketika seharusnya ilmu agama itu di shodaqohkan, malah berubah menjadi dijajakan dengan tarif yang bervariatif, yang lebih parah lagi jika beliau menolak hadir sebab nominal yang ditawarkan tidak terpenuhi. (Owhh ini buruk sekali)
Pasti akan ada yang ajukan protes. “Pendakwah juga butuh menghidupi diri dan keluarganya. Penyanyi juga butuh biaya perawatan alat musik yang digunakan berdakwah itu. Lalu dapat uang dari mana kalau bukan dari tarif tersebut?” Bla.. bla.. bla... Baiklah, saya terima protes tersebut. Tak ada yang memungkiri bahwa hidup ini butuh biaya hidup yang tak lain adalah uang. Tapi setidaknya tidak lantas memasang tarif bukan?? Apalagi jika sudah kepleset niat, jadilah agama dibisniskan.
Walaupun hal tersebut tidak semua terdapat pada pribadi para ulama, namun alangkah baiknya kalau kita lebih berhati-hati dan menata kembali niatan dalam hati kita. Sebab seseorang yang sedang kita tiru adalah bukan orang yang seperti itu. Kanjeng Sunan Drajad mendakwahkan Islam dengan budaya, musik, dan hal unik lainnya untuk menarik masyarakat yang kemudian membawa mereka masuk dan memelukagama Islam. Bahkan Sunan Drajad memberikan contoh dalam dakwahnya beliau adalah menyantunyi para fakir miskin. Beliau rela memberikan apapun yang beliau miliki untuk kelancaran dakwahnya. Sehingga ketika keberhasilan itu tercapai, beliau mendapatkan gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Fatah, sultan Demak I.
Akhirnya, jika kita tidak bisa memberikan kebahagiaan pada orang lain, paling tidak jangan tambahkan kesulitan baginya. Jika kita tidak bisa memberi yang gratis pada orang lain, paling tidak jangan menambahkan bebannya.



DAFTAR PUSTAKA
---------, Lamongan Memayu Raharjaning Praja. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan. 1994.
Tim, Aneka Data Potensi Kabupaten Lamongan. Kantor Informasi dan Komunikasi Kabupaten Lamongan. 2008.



Juara harapan II kategori Non Fiksi
Lomba Menulis Jejak Lamongan, 26 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar