Laman

Jumat, 06 Juni 2014

SOEWOKO: BERANI MATI UNTUK LAMONGAN


“Ikut kami ke pos Sukodadi sekarang!” Aku melihat lelaki berkebangsaan Belanda menggunakan baju tentara itu membentak kejam. Suaranya geram seperti singa kelaparan yang menemukan mangsanya. Sedangkan yang dibentak hanya terkapar menahan sakit tak mampu melawan.
“Tidak. Aku tidak mau menyerah. Bunuh saja aku!” lelaki yang tadi dibentak menolak dan menantang lebih keras lagi. Sorot matanya tajam penuh kebencian. Tak ada rasa takut sedikitpun yang terpancar dari matanya. Tentara Belanda itu semakin garang. Rahangnya mengeras. Wajahnya merah padam menahan emosi. Sampai akhirnya ia berteriak. “BUNUH SAJA ORANG INI!”
Di balik semak-semak rerumputan aku menahan suara dengan tangan menutup mulut. Aku menggeleng, mataku perih menahan tangis. “Kumohon, jangan! Jangan lakukan itu,” hanya dalam hati aku mampu meneriakkannya. Mataku melihat dengan jelas ujung sangkur itu menusuk tajam dada kirinya. Aku memekik tak bersuara. Dan senapan itu, senapan itu mengarah tepat di pipi sebelah hidung pemuda itu. Hingga akhirnya “Doorrr,” sebuah peluruh terlepaskan. Aku terperanjat, terjatuh. Oleng dari pegangan rerumputan yang sejak tadi kupegang erat.

“Tiidaaaakkkk!” teriakku memecah keheningan malam. Keringat dingin membasahi selimut, bantal dan kasur kamarku. Aku melihat sekelilingku, tembok warna coklat, meja belajar di sudut kamar, rak buku di sisi kiri meja, ini kamarku. Kuraba pipi, lengan dan anggota tubuhku yang lain untuk mencari kesadarannku, ternyata aku tengah bermimpi. Kulihat jam dinding di kamarku menunjukkan jam dua lebih lima belas menit. Kuputuskan untuk bangun dan mengambil air wudhu.
***
Bayanganku yang tersinari matahari terlihat lebih panjang daripada ukuran tinggi badanku. Posisi matahari pun lebih condong ke barat siang ini. Jam di tanganku juga sudah menunjukkan jam dua siang. Dengan mengendarai Beat merahku, aku sudah berada di lokasi yang kuyakini merupakan tempat di mana mimpi-mimpi itu muncul dalam tidurku. Iya, aku melihat tugu ini dalam tidurku, tugu yang berada di barat daya perempatan jalan raya desa Gumantuk. Aku melangkahkan kakiku memasuki area bersemak dengan cat tugu yang terlihat kusam dan berlumut: tidak terawat. Tepat di atas jembatan kecil di atas kali sebagai penghubung jalan raya dan tugu itu, aku menghentikan langkahku. Kulihat sekeliling, persis dalam mimpiku. Sebelah barat tugu terdapat semak-semak dan berjajar pohon pisang serta persawahan. Di hadapanku menjulang tugu berukirkan empat nama. Sebelah timur tugu ini ada kali kecil dengan rerumputan liar.
Aku semakin yakin dengan mimpi itu. Tapi ada apa? Kenapa mimpi itu menghantuiku tiga malam terakhir ini? Lalu kenapa dengan tugu ini? Aku melangkahkan kakiku memperjelas ukiran yang ada di muka tugu. Iya, ada empat nama yaitu Soewoko, Sukaeri, Widodo dan Lasiban. Siapa mereka?
“Sedang apa kamu di sini?” tiba-tiba seorang lelaki tua dengan suara parau, punggung bungkuk dan sabit tergenggam ditanggannya, muncul di belakangku membuatku terperanjat kaget.
“Ehh... i... ini Kek, sedang melihat nama-nama di tugu ini,” jawabku gugup sambil menunjuk nama-nama yang terukir di tugu tersebut. Tanpa menanggapi, kakek itu langsung berpaling dan pergi ke arah barat tugu. Aku segera mengejarnya.
“Kek, mau kemana?”
“Ke sana, cari rumput buat makan kambing,” jawabnya dengan menunjuk rerumputan liar di sekitar tugu.
“Kek, apakah Kakek tinggal di daerah sekitar sini?” Aku mengambil posisi duduk di sampingnya.
“Iya.”
“Kakek namanya siapa? Berarti Kakek juga tahu kan, tentang tugu ini?” mataku berbinar, aku bertanya lebih semangat lagi. Aktivitas menyabitnya terhenti, kakek itu melirik tajam padaku. Aku beringsut mundur: takut. Dia masih tak menjawab, lalu kembali menyabit rumput-rumput itu.
Aku memberanikan diri mendekat lagi. Aku meyakinkan diriku bahwa kakek tua ini sedang tidak marah, mungkin hanya kaget dengan pertanyaanku yang tiba-tiba menanyakan tentang tugu yang sudah berpuluh-puluh tahun berada di sini. “Aku tak perduli, aku harus tahu tentang tugu yang selalu muncul dengan pembunuhan di mimpiku itu,” batinku. Aku mengatur dudukku, lalu tanpa prolog aku menceritakan hal yang terjadi dalam mimpiku. Lelaki Belanda itu, pemuda pemberani itu, siksaan itu, pembunuhan itu, semua kuceritakan lengkap. Usai ceritaku, tetap tak ada respon. Aku membisu, berpikir sejenak, menanti. Lalu kuputuskan pergi. Mungkin memang kakek ini tidak tahu. Baru selangkah setelah aku berpaling untuk pergi, tiba-tiba suara kakek itu membuatku terhenti.
“Apa yang sebenarnya kau pikirkan sebelum kau mendapati mimpi itu?” masih tetap duduk memegang sabit, kakek itu bertanya padaku. Aku terdiam kaget atas pertanyaan itu.
“Apa kau masih mempertanyakan hal yang nyata-nyata sudah menjadikanmu hidup bebas dan merdeka saat ini? Kalau iya, kenapa baru sekarang?” kali ini dia mulai berdiri, suaranya semakin parau dengan nada meninggi dan masih tetap dengan sabit yang tergenggam di tangan kanannya. Aku beringsut mundur selangkah. Darahku berdesir hebat. Ada rasa takut yang membuatku berjaga-jaga untuk lari kalau-kalau dia mengayunkan sabitnya dan menebas habis leherku.
“A.. a.. aku minta maaf jika pertanyanku menyinggung Kakek. Tapi sungguh aku tak pernah tahu, dan aku merasa bersalah dengan ketidak-tahuannku itu jika aku tak mencari tahu. Dua hari sebelum aku bermimpi semua itu, ketika aku melihat patung di pintu masuk kota Lamongan sebelah timur, tiba-tiba aku bertanya sendiri pada diriku, siapa sebenarnya dia? Kenapa dia diabadikan di sana? Aku sudah mencoba bertanya pada guru sejarahku, beliau hanya menjawab bahwa dia adalah pemuda yang pernah memperjuangkan Lamongan di masa peperangan dengan Belanda. Selebihnya beliau tak menjelaskan lagi. A.. a... aku bermaksud untuk mencari tahu tentang sejarahnya lebih lanjut, tapi belum terlaksana sedangkan aku sudah mendapati mimpi-mimpi itu.” Kupaksa mulutku berkata sejujurnya. Meski sedikit gagu, tapi kini ada kelegaan. Setelah mendengar jawabanku, kakek itu kemudian mendekatiku. Ada rasa deg-degan di dadaku. Tapi ternyata dia menyeret lenganku dan mengajakku duduk di bawah pohon pisang sekitar tugu.
“Maafkan aku, aku tak bermaksud membentakmu tadi.” Aku tersenyum, dalam hatiku menggerutu, bagaimana mungkin tidak bermaksud membentak, jelas-jelas dia bertanya sambil berteriak, pegang sabit pula.
“Namanya Soewoko. Dia sebenarnya bukan orang Lamongan, melainkan kelahiran Desa Lumbangsari Kecamatan Krebet, Malang. Tapi dia ditugaskan menjadi komandan regu I seksi I kompi I pasukan tamtama Kodim Lamongan. Ketika menghadapi agresi Belanda ke-II, Kadet Soekowo bersama dengan regunya yang menyingkir ke daerah Laren di utara Bengawan Solo sedang beristirahat di sebuah langgar di Desa/ Kecamatan Laren. Saat istirahat itulah regu Kadet Soewoko mendapat laporan penduduk kalau ada truk tentara Belanda yang terperosok di parit wilayah Desa Parengan.”
“Parengan? Tempat tinggalku, Kek?” aku memotong cerita kakek itu.
“Iya, dulu Parengan masuk wilayah Kecamatan Sekaran, tapi sekarang sudah masuk Kecamatan Maduran.” Aku manggut-manggut mendengarkannya sekaligus tercengang mendengar desa tempatku tinggal merupakan saksi bisu kejadian itu.
“Seberapa banyak tentara Belanda yang datang itu, Kek? Apakah lebih banyak daripada jumlah regu Kadet Soewoko?”
“Mereka datang 1 truk yang berisi 12 serdadu Belanda, sedangkan regu kadet hanya 8 orang. Itupun hanya tujuh orang yang menghadapi, satu anggota bernama Soemarto ditinggal, sebab senjata api hasil peninggalan jepang yang mereka miliki hanya ada tujuh. Untuk menuju Parengan dari Laren mereka menyebrangi sungai Bengawan Solo dengan perahu. Mereka merayap dan berlindung di gundukan tanah yang ditanami ubi-ubian.”
“Apa setelah itu mereka langsung menemabak, Kek?” lagi-lagi aku memotong cerita kakek. Kakek itu melirikku sinis, seperti tak suka ceritanya kuselah. Akupun menutup mulutku segera.
“Maaf, kek.”
“Soewoko berpesan pada anggotanya untuk tidak menembak pasukan belanda yang tidak mengenakan baju seragamnya dan hanya menggunakan ikat pada lehernya berwarna merah itu sampai mereka menggerakkan truk mereka dan ketika jarak tembak sudah tepat, pada saat itulah tembakan secara serentak atau apa namanya aku lupa segera diluncurkan,” kakek menerawang ke langit seperti masih berfikir hal yang lupa tadi.
“Tembakan salvo maksud Kakek?”
“Ya, mungkin itu istilahnya.”
“Apa strategi itu berhasil?”
“Tidak berhenti di situ. Ketika sudah mendapatkan jarak sasaran tembak yang tepat ternyata datang truk power wagon milik Belanda yang lain untuk membantu mereka. Sehingga jumlah mereka bertambah sekitar 37 orang. Meski kalah jumlah, regu Soewoko tak ciut nyalinya. Mereka segera menembak dan hasilnya beberapa serdadu Belanda itu terjungkal. Namun jumlah mereka yang banyak membuat regu Soewoko terkepung dengan taktik mereka bergerak memutar ke belakang regu Soewoko. Soewoko memutuskan menorobos kepungan musuh dan berlari menuju Desa Gumantuk.” Kakek menghela nafas dan memperbaiki posisi duduknya mencari sandaran pohon pisang.
“Mereka selamat, Kek?” mataku berbinar menanyakannya. Namun kuperhatikan wajah kakek semakin keruh saja.
“Iya, dua orang dari anggota itu berhasil menerobos, satu orang pura-pura mati. Namun tidak bagi Soewoko, ketika ia hendak menembakkan stengun miliknya, ia kedahuluan tertembak kedua bahunya hingga tembus lantas tergeletak tanpa perlawanan. Setelah itu persis dengan yang kau ceritakan dalam mimpimu, ia tak mau menyerahkan diri dan memilih untuk mati. Sebelum dia dibunuh dia menjawab bahwa namanya adalah Soewignyo, ia menyebut nama kepala Staf KDM Belanda.” Kakek tertunduk mengisahkan kisah heroik pemuda bernama Soewoko. Sedangkan aku merinding dengan semua cerita itu. Kami terdiam sejenak, aku memandangi lagi tugu monumen ini. Di sinilah pembelaan dan perjuangan itu terjadi.
Sejarah Singkat Tragedi 4 Maret 1949
“Kek, kalau dari sekarang ada berapa tahun kejadian itu terjadi?” Aku kembali menatap wajah kakek. Berharap beliau masih mengingat waktu kejadian itu. Lama sekali, ada sekitar 15 menit berlalu kakek terdiam tampak berpikir, mulutnya komat-kamit, jemarinya yang kisut itu bergerak-gerak menghitung. Aku menyabarkan diri menunggu.
“Emmm, mungkin ada 65 tahun lebih, seingatku saat itu hari Minggu Legi, 9 Maret 1949 sekitar jam 17.00 sore Belanda baku tembak dengan regu Soewoko. Sedangkan kejadian pembunuhan Soewoko di Gumantuk ini terjadi malamnya.”
“Apakah saat itu Kakek sudah lahir?”
“Iya, saat itu terjadi, aku baru berusia sekitar 10 tahun. Semua kejadian itu disaksikan dan diceritakan oleh anggotanya yang pura-pura meninggal.”
“Lalu, apakah tugu ini juga sekaligus sebagai makam mereka yang namanya terukir disana, Kek?” Aku bertanya dengan mengikuti langkah kakek menuju rumput hasil sabitannya dan memasukkanya ke dalam karung.
“Awalnya iya, tapi kemudian jenazah Kadet Soewoko dan tiga temannya dipindah ke taman makam pahlawan Kusuma Bangsa Lamongan. Tugu ini dan patung Kadet Soewoko yang ada di pintu masuk Kota Lamongan sebelah timur merupakan bukti monumental pengabadian dari kisah heroiknya, kata-katanya juga dipahatkan di patung tersebut,” dengan melangkah meninggalkanku yang masih terpaku, kakek itu menyudahi ceritanya.
“Kakek!” yang kupanggil menoleh pelan, dari wajah dan peluh yang menetes dari kening dan pelipisnya aku tahu ia kelelahan dengan beban rumput sekarung itu.
“Boleh aku mengantarmu pulang?” tanpa menunggu persetujuannya kuarahkan tanganku meraih karung berisi rumput itu dan membatunya untuk menaikkan ke motorku. Rumah kakek yang baru kuketahui namanya Malini ini ternyata tidak jauh, hanya sekitar 100 meter ke arah selatan tugu.
Senja semakin mempesona, panggilan cinta Allah kian menggema dari pengeras-pengeras masjid. Tak baik jika aku pulang ketika azan seperti ini. Aku memutuskan untuk menumpang sholat di rumah kakek Malini, dan baru kusadari betapa beliau menceritakan semua kejadian itu dengan jelas dan gamblang. Ternyata beliau merupakan salah satu dari pejuang yang ikut andil dalam pengusiran penjajah di daerah ini. Semua tampak jelas ketika kupandangi foto-fotonya bersama pejuang yang lain terpampang di dinding rumahnya. Di dinding itu pula aku melihat foto bertuliskan namanya sedang bersalaman dengan seorang pejabat negara.
“Terima kasih, Tuhan, telah Engkau pertemukan aku dengan pelaku sejarah yang sekaligus membuka pengetahuanku tentang perjuangan di kota ini,” bisik batinku sambil menyapu lirih foto-foto kakek Malini di dinding kayu rumahnya yang sudah mulai berdebu seperti lama tak tersentuh.


DAFTAR PUSTAKA

---------, Lamongan Memayu Raharjaning Praja. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan. 1994.
Tim, Aneka Data Potensi Kabupaten Lamongan. Kantor Informasi dan Komunikasi Kabupaten Lamongan. 2008.


Ditulis dalam event Lomba  Menulis Jejak Lamongan

Patung Kadet Soewoko di Lamongan
Pose Penulis di Depan Patung Kadet Soewoko Lamongan
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar