“Ikut kami ke pos Sukodadi sekarang!” Aku melihat
lelaki berkebangsaan Belanda menggunakan baju tentara itu membentak kejam.
Suaranya geram seperti singa kelaparan yang menemukan mangsanya. Sedangkan yang
dibentak hanya terkapar menahan sakit tak mampu melawan.
“Tidak. Aku tidak mau menyerah. Bunuh saja aku!” lelaki
yang tadi dibentak menolak dan menantang lebih keras lagi. Sorot matanya tajam
penuh kebencian. Tak ada rasa takut sedikitpun yang terpancar dari matanya.
Tentara Belanda itu semakin garang. Rahangnya mengeras. Wajahnya merah padam
menahan emosi. Sampai akhirnya ia berteriak. “BUNUH SAJA ORANG INI!”
Di balik semak-semak rerumputan aku menahan suara
dengan tangan menutup mulut. Aku menggeleng, mataku perih menahan tangis.
“Kumohon, jangan! Jangan lakukan itu,” hanya dalam hati aku mampu
meneriakkannya. Mataku melihat dengan jelas ujung sangkur itu menusuk tajam
dada kirinya. Aku memekik tak bersuara. Dan senapan itu, senapan itu mengarah
tepat di pipi sebelah hidung pemuda itu. Hingga akhirnya “Doorrr,” sebuah
peluruh terlepaskan. Aku terperanjat, terjatuh. Oleng dari pegangan rerumputan
yang sejak tadi kupegang erat.
“Tiidaaaakkkk!” teriakku memecah keheningan malam.
Keringat dingin membasahi selimut, bantal dan kasur kamarku. Aku melihat
sekelilingku, tembok warna coklat, meja belajar di sudut kamar, rak buku di
sisi kiri meja, ini kamarku. Kuraba pipi, lengan dan anggota tubuhku yang lain
untuk mencari kesadarannku, ternyata aku tengah bermimpi. Kulihat jam dinding
di kamarku menunjukkan jam dua lebih lima belas menit. Kuputuskan untuk bangun
dan mengambil air wudhu.
***
Bayanganku yang tersinari matahari terlihat lebih
panjang daripada ukuran tinggi badanku. Posisi matahari pun lebih condong ke barat
siang ini. Jam di tanganku juga sudah menunjukkan jam dua siang. Dengan
mengendarai Beat merahku, aku sudah berada di lokasi yang kuyakini merupakan
tempat di mana mimpi-mimpi itu muncul dalam tidurku. Iya, aku melihat tugu ini
dalam tidurku, tugu yang berada di barat daya perempatan jalan raya desa
Gumantuk. Aku melangkahkan kakiku memasuki area bersemak dengan cat tugu yang
terlihat kusam dan berlumut: tidak terawat. Tepat di atas jembatan kecil di
atas kali sebagai penghubung jalan raya dan tugu itu, aku menghentikan
langkahku. Kulihat sekeliling, persis dalam mimpiku. Sebelah barat tugu terdapat
semak-semak dan berjajar pohon pisang serta persawahan. Di hadapanku menjulang
tugu berukirkan empat nama. Sebelah timur tugu ini ada kali kecil dengan
rerumputan liar.
Aku semakin yakin dengan mimpi itu. Tapi ada apa?
Kenapa mimpi itu menghantuiku tiga malam terakhir ini? Lalu
kenapa dengan tugu ini? Aku
melangkahkan kakiku memperjelas ukiran yang ada di muka tugu. Iya, ada empat
nama yaitu
Soewoko, Sukaeri,
Widodo dan Lasiban. Siapa mereka?
“Sedang
apa kamu di sini?” tiba-tiba seorang lelaki tua dengan suara parau, punggung
bungkuk dan sabit tergenggam ditanggannya, muncul di belakangku membuatku
terperanjat kaget.
“Ehh...
i... ini Kek, sedang melihat nama-nama di tugu ini,” jawabku gugup sambil
menunjuk nama-nama yang terukir di tugu tersebut. Tanpa menanggapi, kakek itu
langsung berpaling dan pergi ke arah barat tugu. Aku segera mengejarnya.
“Kek,
mau kemana?”
“Ke
sana, cari rumput buat makan kambing,” jawabnya dengan menunjuk rerumputan liar
di sekitar tugu.
“Kek, apakah
Kakek tinggal di daerah sekitar sini?” Aku mengambil posisi duduk di sampingnya.
“Iya.”
“Kakek
namanya siapa? Berarti Kakek juga tahu kan, tentang tugu ini?” mataku berbinar,
aku bertanya lebih semangat lagi. Aktivitas menyabitnya terhenti, kakek itu
melirik tajam padaku. Aku beringsut mundur: takut. Dia masih tak menjawab, lalu
kembali menyabit rumput-rumput itu.
Aku
memberanikan diri mendekat lagi. Aku meyakinkan diriku bahwa kakek tua ini
sedang tidak marah, mungkin hanya kaget dengan pertanyaanku yang tiba-tiba
menanyakan tentang tugu yang sudah berpuluh-puluh tahun berada di sini. “Aku
tak perduli, aku harus tahu tentang tugu yang selalu muncul dengan pembunuhan di
mimpiku itu,” batinku. Aku mengatur dudukku, lalu tanpa prolog aku menceritakan
hal yang terjadi dalam mimpiku. Lelaki Belanda itu, pemuda pemberani itu,
siksaan itu, pembunuhan itu, semua kuceritakan lengkap. Usai ceritaku, tetap
tak ada respon. Aku membisu, berpikir sejenak, menanti. Lalu kuputuskan pergi.
Mungkin memang kakek ini tidak tahu. Baru selangkah setelah aku berpaling untuk
pergi, tiba-tiba suara kakek itu membuatku terhenti.
“Apa
yang sebenarnya kau pikirkan sebelum kau mendapati mimpi itu?” masih tetap
duduk memegang sabit, kakek itu bertanya padaku. Aku terdiam kaget atas
pertanyaan itu.
“Apa kau
masih mempertanyakan hal yang nyata-nyata sudah menjadikanmu hidup bebas dan
merdeka saat ini? Kalau iya, kenapa baru sekarang?” kali ini dia mulai berdiri,
suaranya semakin parau dengan nada meninggi dan masih tetap dengan sabit yang
tergenggam di tangan kanannya. Aku beringsut mundur selangkah. Darahku berdesir
hebat. Ada rasa takut yang membuatku berjaga-jaga untuk lari kalau-kalau dia
mengayunkan sabitnya dan menebas habis leherku.
“A.. a..
aku minta maaf jika pertanyanku menyinggung Kakek. Tapi sungguh aku tak pernah
tahu, dan aku merasa bersalah dengan ketidak-tahuannku itu jika aku tak mencari
tahu. Dua hari sebelum aku bermimpi semua itu, ketika aku melihat patung di
pintu masuk kota Lamongan sebelah timur, tiba-tiba aku bertanya sendiri pada
diriku, siapa sebenarnya dia? Kenapa dia diabadikan di sana? Aku sudah mencoba
bertanya pada guru sejarahku, beliau hanya menjawab bahwa dia adalah pemuda
yang pernah memperjuangkan Lamongan di masa peperangan dengan Belanda.
Selebihnya beliau tak menjelaskan lagi. A.. a... aku bermaksud untuk mencari
tahu tentang sejarahnya lebih lanjut, tapi belum terlaksana sedangkan aku sudah
mendapati mimpi-mimpi itu.” Kupaksa mulutku berkata sejujurnya. Meski sedikit
gagu, tapi kini ada kelegaan. Setelah mendengar jawabanku, kakek itu kemudian
mendekatiku. Ada rasa deg-degan di dadaku. Tapi ternyata dia menyeret lenganku
dan mengajakku duduk di bawah pohon pisang sekitar tugu.
“Maafkan
aku, aku tak bermaksud membentakmu tadi.” Aku tersenyum, dalam hatiku
menggerutu, bagaimana mungkin tidak bermaksud membentak, jelas-jelas dia
bertanya sambil berteriak, pegang sabit pula.
“Namanya
Soewoko. Dia sebenarnya bukan orang Lamongan, melainkan kelahiran Desa Lumbangsari Kecamatan Krebet, Malang. Tapi dia ditugaskan menjadi komandan
regu I seksi I kompi I pasukan tamtama Kodim Lamongan. Ketika menghadapi agresi Belanda ke-II, Kadet Soekowo
bersama dengan regunya yang menyingkir ke daerah Laren di utara Bengawan Solo sedang
beristirahat di sebuah langgar di Desa/ Kecamatan
Laren. Saat istirahat itulah regu
Kadet Soewoko mendapat laporan penduduk kalau ada truk tentara Belanda yang
terperosok di parit wilayah Desa Parengan.”
“Parengan? Tempat tinggalku, Kek?” aku memotong
cerita kakek itu.
“Iya, dulu Parengan masuk wilayah Kecamatan
Sekaran, tapi sekarang sudah masuk Kecamatan Maduran.” Aku manggut-manggut
mendengarkannya sekaligus tercengang mendengar desa tempatku tinggal merupakan
saksi bisu kejadian itu.
“Seberapa banyak tentara Belanda yang datang itu, Kek?
Apakah lebih banyak daripada jumlah regu Kadet Soewoko?”
“Mereka datang 1 truk yang berisi 12 serdadu
Belanda, sedangkan regu kadet hanya 8 orang. Itupun hanya tujuh orang yang
menghadapi, satu anggota bernama Soemarto ditinggal, sebab senjata api hasil
peninggalan jepang yang mereka miliki hanya ada tujuh. Untuk menuju Parengan
dari Laren mereka menyebrangi sungai Bengawan Solo dengan perahu. Mereka merayap
dan berlindung di gundukan tanah yang ditanami ubi-ubian.”
“Apa setelah itu mereka langsung menemabak, Kek?”
lagi-lagi aku memotong cerita kakek. Kakek itu melirikku sinis, seperti tak
suka ceritanya kuselah. Akupun menutup mulutku segera.
“Maaf, kek.”
“Soewoko berpesan pada anggotanya untuk tidak
menembak pasukan belanda yang tidak mengenakan baju seragamnya dan hanya
menggunakan ikat pada lehernya berwarna merah itu sampai mereka menggerakkan
truk mereka dan ketika jarak tembak sudah tepat, pada saat itulah tembakan secara
serentak atau apa namanya aku lupa segera diluncurkan,” kakek menerawang ke
langit seperti masih berfikir hal yang lupa tadi.
“Tembakan salvo maksud Kakek?”
“Ya, mungkin itu istilahnya.”
“Apa strategi itu berhasil?”
“Tidak berhenti di situ. Ketika sudah mendapatkan
jarak sasaran tembak yang tepat ternyata datang truk power wagon milik Belanda yang lain untuk membantu
mereka. Sehingga jumlah mereka bertambah sekitar 37 orang. Meski kalah jumlah,
regu Soewoko tak ciut nyalinya. Mereka segera menembak dan hasilnya beberapa
serdadu Belanda itu terjungkal. Namun jumlah mereka yang banyak membuat regu
Soewoko terkepung dengan taktik mereka bergerak memutar ke belakang regu
Soewoko. Soewoko memutuskan menorobos kepungan musuh dan berlari menuju Desa
Gumantuk.” Kakek menghela nafas dan memperbaiki posisi duduknya mencari
sandaran pohon pisang.
“Mereka selamat, Kek?” mataku berbinar
menanyakannya. Namun kuperhatikan wajah kakek semakin keruh saja.
“Iya, dua orang dari anggota itu berhasil
menerobos, satu orang pura-pura mati. Namun tidak bagi Soewoko, ketika ia
hendak menembakkan stengun miliknya, ia kedahuluan tertembak kedua bahunya
hingga tembus lantas tergeletak tanpa perlawanan. Setelah itu persis dengan
yang kau ceritakan dalam mimpimu, ia tak mau menyerahkan diri dan memilih untuk
mati. Sebelum dia dibunuh dia menjawab bahwa namanya adalah Soewignyo, ia menyebut nama kepala Staf KDM Belanda.” Kakek tertunduk mengisahkan kisah heroik pemuda bernama Soewoko.
Sedangkan aku merinding dengan semua cerita itu. Kami terdiam sejenak, aku
memandangi lagi tugu monumen ini. Di sinilah pembelaan dan perjuangan itu
terjadi.
![]() |
| Sejarah Singkat Tragedi 4 Maret 1949 |
“Kek,
kalau dari sekarang ada berapa tahun kejadian itu terjadi?” Aku kembali menatap
wajah kakek. Berharap beliau masih mengingat waktu kejadian itu. Lama sekali,
ada sekitar 15 menit berlalu kakek terdiam tampak berpikir, mulutnya komat-kamit,
jemarinya yang kisut itu bergerak-gerak menghitung. Aku menyabarkan diri
menunggu.
“Emmm,
mungkin ada 65 tahun lebih, seingatku saat itu hari Minggu Legi, 9 Maret 1949 sekitar jam 17.00 sore Belanda baku
tembak dengan regu Soewoko. Sedangkan kejadian pembunuhan Soewoko di Gumantuk
ini terjadi malamnya.”
“Apakah
saat itu Kakek sudah lahir?”
“Iya,
saat itu terjadi, aku baru berusia sekitar 10 tahun. Semua kejadian itu
disaksikan dan diceritakan oleh anggotanya yang pura-pura meninggal.”
“Lalu,
apakah tugu ini juga sekaligus sebagai makam mereka yang namanya terukir
disana, Kek?” Aku bertanya dengan mengikuti langkah kakek menuju rumput hasil
sabitannya dan memasukkanya ke dalam karung.
“Awalnya
iya, tapi kemudian jenazah Kadet Soewoko dan tiga temannya dipindah ke taman
makam pahlawan Kusuma Bangsa Lamongan. Tugu ini dan patung Kadet Soewoko yang
ada di pintu masuk Kota Lamongan sebelah timur merupakan bukti monumental pengabadian
dari kisah heroiknya, kata-katanya juga dipahatkan di patung tersebut,” dengan
melangkah meninggalkanku yang masih terpaku, kakek itu menyudahi ceritanya.
“Kakek!”
yang kupanggil menoleh pelan, dari wajah dan peluh yang menetes dari kening dan
pelipisnya aku tahu ia kelelahan dengan beban rumput sekarung itu.
“Boleh
aku mengantarmu pulang?” tanpa menunggu persetujuannya kuarahkan tanganku
meraih karung berisi rumput itu dan membatunya untuk menaikkan ke motorku. Rumah
kakek yang baru kuketahui namanya Malini ini ternyata tidak jauh, hanya sekitar
100 meter ke arah selatan tugu.
Senja
semakin mempesona, panggilan cinta Allah kian menggema dari pengeras-pengeras masjid.
Tak baik jika aku pulang ketika azan seperti ini. Aku memutuskan untuk
menumpang sholat di rumah kakek Malini, dan baru kusadari betapa beliau menceritakan
semua kejadian itu dengan jelas dan gamblang. Ternyata beliau merupakan salah
satu dari pejuang yang ikut andil dalam pengusiran penjajah di daerah ini.
Semua tampak jelas ketika kupandangi foto-fotonya bersama pejuang yang lain
terpampang di dinding rumahnya. Di dinding itu pula aku melihat foto
bertuliskan namanya sedang bersalaman dengan seorang pejabat negara.
“Terima kasih, Tuhan, telah Engkau pertemukan
aku dengan pelaku sejarah yang sekaligus membuka pengetahuanku tentang
perjuangan di kota ini,” bisik batinku sambil menyapu lirih foto-foto kakek
Malini di dinding kayu rumahnya yang sudah mulai berdebu seperti lama tak
tersentuh.
DAFTAR PUSTAKA
---------, Lamongan
Memayu Raharjaning Praja. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan.
1994.
Tim, Aneka
Data Potensi Kabupaten Lamongan. Kantor Informasi dan Komunikasi Kabupaten
Lamongan. 2008.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar