Laman

Rabu, 11 Juni 2014

NASTAR PENGGODA IMAN



“Hari ini, hari puasa terakhir di bulan Ramadhan. Besok sudah Lebaran. Mama kamu sudah buat kue apa saja?” Mei begitu semangat bertanya-tanya padaku tentang persiapan Lebaran besok.
“Mamaku buat kue sih, tapi aku tidak tahu namanya. Tapi sepertinya enak kok. Besok kamu main ke rumahku ya, Mei?”
“Sipp... kamu juga ya, Dito!” Aku mengangguk. “Oh iya, sudah selesai belum Mama kamu nyiapin kue Lebarannya? Kalau Mamaku belum. Mungkin hari ini hari terakhir buat kuenya, nanti setelah pulang sekolah aku akan ikut membantu loh...” Mei melanjutkan ceritanya.

“Emm, aku tidak tahu, aku kan anak laki-laki. Aku mana mungkin membantu di dapur. Apa lagi aku masih kecil.”
“Eh, tidak apa-apa toh. Kan membantu sesama kalau di bulan Ramadhan itu kata Mamaku pahalanya akan dilipat gandakan. Kamu mau dapat pahala banyak apa tidak?” Mei bertanya dengan senyum menantang.
“Oh begitukah? Kalau begitu, iya deh. Nanti setelah sekolah akan aku lepas seragam merah putihku ini dan akan segera kubantu Mama dan Kak Wulan membuat kue-kue Lebaran.” Aku begitu semangkat saat disebut-sebut masalah pahala. Sebab kata pak ustadz kalau kita punya banyak pahala akan mudah masuk surga.
“Oke, kalau gitu nanti setelah pulang sekolah ayo lomba banyak-banyakkan ngumpulin pahala yaa??”
“Oke..” Jawabku sambil mengacungkan dua jempol ke arah Mei.
***
Sampai di rumah segera kuletakkan sepatuku pada tempatnya dan kugantung seragam sekolahku. Setelah cuci tangan dan kaki, aku segera lari ke dapur. Ada Mama dan Kak Wulan di situ.
“Mama, Mama sedang buat apa?”
“Eh, sudah pulang anak Mama. Mama sedang buat nastar keju, kalau Kak Wulan bantu Mama buat nastar coklat. Kamu masih puasa kan, sayang?” tanya Mama padaku setelah menjelaskan kue-kue yang dibuat hari ini.
“Masih dong ,Ma. Emmm.. Ma, kalau aku ikut membantu boleh?”
Mama dan Kak Wulan melirikku kemudian saling berpandangan keduanya.
“Bantu makan maksudnya?” jawab Kak Wulan padaku sambil ketawa-ketawa.
“Husss Wulan...” Mama melotot ke Kak Wulan. “Boleh, sayang. Kamu mau bantu apa?” tanya Mama ramah padaku.
“Aku kan puasa Kak, jadi nggak mungkin aku bantu makan.” Aku pura-pura ngambek ke Kak Wulan. Enak saja aku dibilang mau bantuin makan. Yang diajak ngomong hanya senyum-senyum saja. “Aku bantu apa aja deh Ma, yang penting aku bisa saling membantu dan dapat banyak pahala.” Mama tersenyum.
“Baiklah, kamu bagian menaburi keju saja ya?”
“Oke, Ma.” Aku mengacungkan jempol pada Mama pertanda siap melaksanakan tugas. Kemudian kulirik Kak Wulan yang sepertinya mencoba protes atas entengnya tugasku, aku hanya menjulurkan lidah meledekinya.
Sambil bekerja aku bercerita banyak tentang kegiatan sekolahku. Sesekali kami tertawa bersama. Terkadang Kak Wulan juga jahil mengusapkan tepung ke pipiku. Dan Mama tidak membela, beliau hanya tersenyum. Mungkin beliau tahu kalau itu hanya bercanda.
“Emm ... Dito. Kenapa kamu tiba-tiba ingin membantu Mama, sayang? Biasanya kamu kalau pulang sekolah kan sudah capek, terus tidur.”
“Dia pengen icip-icip tuh, Ma.” Sahut Kak Wulan sebelum aku menjawab. Mama melirik sedikit melotot ke arah Kak Wulan.
“Hehe.. Maaf Ma. Habisnya, Si Gendut ini tiba-tiba saja mau bantu-bantu. Kan aku heran.” Iya, begitulah pangilan kesayangan Kak Wulan padaku, Si Gendut. Sebab tubuhku yang perutku yang sedikit besar dan pipiku yang tembem.
“Tadi di sekolah, Mei bercerita kalau dia sering membantu Mamanya ketika buat kue. Lalu dia juga bilang kalau membantu orang lain di bulan Ramadhan ini pahalanya akan dilipatgandakan jadi banyak.”
Mama hanya manggut-manggut menyimak ceritaku.
“Lalu, kata pak Ustadz kalau kita punya banyak pahala, maka akan disayang sama Allah, kemudian dimasukkan surga. Nah, kan kalau Dito dimasukkan surga, Dito mau ngajak Mama, Papa dan....... Kak Wulan diajak nggak, Ma?” aku mengakhiri ceritaku dengan pertanyaan kepada Mama yang kemudian dijawab dengan tawa Mama dan usapan tepung dari tangan Kak Wulan ke pipiku.
“Iya.. iyaa.. Kak Wulan kuajak juga.” Segera aku memutuskan mengajak Kak Wulan ke surga kalau aku diijinkan Allah agar dia berhenti mengerjaiku.
Mama hanya tersenyum melihat keakraban kami. Aku kembali pada pekerjaanku menaburi keju-keju sesuai dengan pengarahan Mama.
Mama orangnya baik, tidak pernah marah padaku. Kak Wulan juga sebenarnya baik, hanya saja dia sering jahilin aku. Tapi kalau sedang baik dia bisa membelikan apapun yang aku mau. Asal dia punya  uang tentunya.
Sesuai dugaanku, pekerjaan di dapur ternyata memang benar-benar tidak gampang. Panas, belepotan, ribet, dan yang paling penting aku jadi tergiur dengan kue-kue ini. Ingin rasanya kucaplok saja semuanya sekarang. Tapi aku harus sabar. Kata Mama, kalau puasa harus sabar atas segala godaan. Termasuk makanan-makanan lezat didepanku ini.
Kruuucuk... kruuucuk... Kruuucuk...
Tiba-tiba perutku berbunyi. Kak Wulan dan Mama langsung memandangku bersamaan.
“Hwakakakaka... Suara apaan tuhh. Seperti ada cacing-cacing yang sedang demo deh...” Kak Wulan tertawa ngakak mendengar bunyi perutku.
“Dito Sayang, kamu istirahat saja ya. Tidur siang, biar enak badannya.” Bujuk Mama. Aku tahu Mama hanya menghiburku agar aku tidak merasa semakin lapar di depan kue-kue ini.
“Aku tidak apa-apa kok, Ma.”
“Yakin, kamu??” Lirik Kak Wulan menggoda.
Aku terdiam cukup lama. Aku melihat jam yang ada di dinding. Baru jam setengah tiga. Belum ashar. Berarti maghrib masih lama. Tapi perut ini tak bisa berbohong. Dia tertarik dengan kue-kue buatan Mama.
“Emmm.. Ma, aku masih ingin membantu Mama dan Kak Wulan. Aku juga ingin dapat banyak pahala dan disayang Allah. Tapi... tapi... perutku, Ma.” Aku tak mampu meneruskan kata-kataku.
Kak Wulan yang dari tadi meledekku sepertinya berubah jadi kasihan melihatku. Mama tersenyum memahami anak kecilnya yang tengah kelaparan. Sambil mengelus kepalaku, Kak Wulan pun berkata, “Ya sudah Gendut-ku sayang, kamu istirahat saja, tidur nggak pa-pa kok. Nanti Kakak bangunin. Lagian kamu juga sudah bantu banyak.”
“Ya memang sih, tidurnya orang puasa itu juga dapat pahala. Tapi kalau kamu mau pahala lebih, dan kalau kamu tidak ngantuk, kamu bisa mengaji, Sayang. Nunggu berbuka sambil ngaji kan lebih keren daripada tidur. Sudah dapat pahala, disayang Allah, nggak lihat kue-kue ini pula yang bikin kamu tambah lapar. Iya kan?? Sekarang terserah kamu, mau pilih yang mana?” Mama menambahkan sambil mengelus pipiku lembut.
“Jadi Mama dan Kak Wulan nggak pa-pa kalau aku tinggal?”
“Ya nggak papa lah, Gendut. Kami senang kamu sudah membantu sebentar. Sekarang kamu mau ngapain, adikku sayang?” tanya Kak Wulan.
“Emmm... mau tidur tapi sebentar lagi ashar, setelah itu nggak baik tidur setelah ashar. Aku mau ngaji aja, Kak. Tapi kalau nanti capek terus ketiduran bangunin ya??”
“Haha... kok ada ngaji terus ketiduran. Tapi iya deh. Nanti kalau ketiduran dibangunin.”
Akhirnya aku beranjak dan membersihkan wajah dan tanganku yang kotor sebab tepung dan bahan-bahan kue lainnya. Setelah wudhu aku langsung menuju kamar sholat, lalu membaca al-Qur’anku huruf per huruf, ayat per ayat. Aku bersabar menunggu waktu berbuka ditemani oleh ayat-ayat Allah.
***
Dug... dug... dug... Allahu Akbar... Allahu Akbar....
Suara-suara pujian kebesaran Allah telah dikumandangkan dari setiap pengeras-pengeras masjid. Tandanya waktu berbuka telah tiba. Aku segera menghampiri meja makan untuk mengambil air putih sebagai pembuka dan tiga butir kurma yang selalu disiapkan Mama.
Keluargaku membiasakan berbuka dengan air putih dan kurma terlebih dahulu seperti yang disunnahkan Rasulullah, kemudian sholat maghrib berjamaah, barulah kami makan bersama.
Ketika waktu makan tiba, mataku menjelajahi satu per satu makanan yang ada di meja. Semuanya lezat, pasti Mama yang masak, dan Kak Wulan hanya membantu hehe... Tapi aku tidak menemukan satu hal di sini. Kue yang tadi siang tidak dihidangkan di meja ini. Padahal aku ingin sekali mencicipi hasil karyaku. Tapi aku diam saja, tidak berani bertanya. Mungkin memang kue itu disiapkan hanya untuk Lebaran. Lagian Papa dan Mama juga sedang sibuk makan, aku tak ingin mengganggu dengan pertanyaanku. Aku akan bersabar menungguu besok saja untuk mencicipinya.
Tanpa sepengetahuanku ternyata Kak Wulan memperhatikan tingkahku. “Kamu nyari ini ya??” ujarnya sambil mengangakat setoples kecil nastar keju dan coklat ke hadapanku. Terang saja aku langsung terbelalak dan menganga senang.
“Aku tahu kamu sedang mencari hasil karyamu yang menjadikan perutmu ‘konser’ seharian kan?”
Aku hanya tersenyum. Berharap agar kue itu segera diberikan padaku.
“Sebenarnya kue ini hanya untuk Lebaran.”
“Yahhhh...” Aku menghelah lemas tak bersemangat.
“Tapi berhubung kamu sudah bantu Kakak dan Mama seharian ini, dan mau bersabar menunggu waktu buka sambil mengaji, maka kue ini hadiah buat kamu. Nih ambil semuanya.” Seru Kak Wulan memberikan setoples kecil kue nastar.
“Wahhh,,, terima kasih Ma, terima kasih Kak. Papa, aku dapat kue.” Teriakku kegirangan sambil mengangkat setoples kue. Papa dan Kak Wulan bergantian mengacak-acak rambut dan sesekali perutku. “Dasar Gendut,” kata Kak Wuan.
***
Di luar, gema takbir dan tahmid serta puji-pujian diserukan dengan ramai penuh kedamaian dan hidmat menyambut hari kemenangan yang dihadiahkan Allah. Sesekali aku mendengar bunyi petasan dan percikan kembang api di langit-langit malam. Aku menikmati malam ini dengan bertakbir bersama Kakak, Papa, dan Mama di teras depan rumah sambil menikmati kue nastar buatanku, ditemani hiasan kembang api yang indah di malam penuh kemenangan.


Fitrotun Nihlah, lahir di Lamongan, 05 Februari 1991. Ketertarikannya dalam dunia tulis menulis membuat dia terus mengasah kemampuannya. Baginya menulis adalah menyampaikan apapun yang tak mampu terwakili oleh lisan, maka tulisan akan melakukannya. Fb yang dimiliki sesuai dengan nama aslinya atau lebih lanjut via Hp (085730390890) dan email: fitrotunnihlah@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar