“Hari ini, hari puasa terakhir di bulan Ramadhan.
Besok sudah Lebaran. Mama kamu sudah buat kue apa saja?” Mei begitu semangat
bertanya-tanya padaku tentang persiapan Lebaran besok.
“Mamaku buat kue sih, tapi aku tidak tahu namanya.
Tapi sepertinya enak kok. Besok kamu main ke rumahku ya, Mei?”
“Sipp... kamu juga ya, Dito!” Aku mengangguk. “Oh
iya, sudah selesai belum Mama kamu nyiapin kue Lebarannya? Kalau Mamaku belum.
Mungkin hari ini hari terakhir buat kuenya, nanti setelah pulang sekolah aku
akan ikut membantu loh...” Mei melanjutkan ceritanya.
“Emm, aku tidak tahu, aku kan anak laki-laki. Aku
mana mungkin membantu di dapur. Apa lagi aku masih kecil.”
“Eh, tidak apa-apa toh. Kan membantu sesama kalau
di bulan Ramadhan itu kata Mamaku pahalanya akan dilipat gandakan. Kamu mau
dapat pahala banyak apa tidak?” Mei bertanya dengan senyum menantang.
“Oh begitukah? Kalau begitu, iya deh. Nanti
setelah sekolah akan aku lepas seragam merah putihku ini dan akan segera
kubantu Mama dan Kak Wulan membuat kue-kue Lebaran.” Aku begitu semangkat saat
disebut-sebut masalah pahala. Sebab kata pak ustadz kalau kita punya banyak
pahala akan mudah masuk surga.
“Oke, kalau gitu nanti setelah pulang sekolah ayo
lomba banyak-banyakkan ngumpulin pahala yaa??”
“Oke..” Jawabku sambil mengacungkan dua jempol ke
arah Mei.
***
Sampai di rumah segera kuletakkan sepatuku pada
tempatnya dan kugantung seragam sekolahku. Setelah cuci tangan dan kaki, aku
segera lari ke dapur. Ada Mama dan Kak Wulan di situ.
“Mama, Mama sedang buat apa?”
“Eh, sudah pulang anak Mama. Mama sedang buat
nastar keju, kalau Kak Wulan bantu Mama buat nastar coklat. Kamu masih puasa
kan, sayang?” tanya Mama padaku setelah menjelaskan kue-kue yang dibuat hari
ini.
“Masih dong ,Ma. Emmm.. Ma, kalau aku ikut
membantu boleh?”
Mama dan Kak Wulan melirikku kemudian saling
berpandangan keduanya.
“Bantu makan maksudnya?” jawab Kak Wulan padaku
sambil ketawa-ketawa.
“Husss Wulan...” Mama melotot ke Kak Wulan.
“Boleh, sayang. Kamu mau bantu apa?” tanya Mama ramah padaku.
“Aku kan puasa Kak, jadi nggak mungkin aku bantu
makan.” Aku pura-pura ngambek ke Kak Wulan. Enak saja aku dibilang mau bantuin
makan. Yang diajak ngomong hanya senyum-senyum saja. “Aku bantu apa aja deh Ma,
yang penting aku bisa saling membantu dan dapat banyak pahala.” Mama tersenyum.
“Baiklah, kamu bagian menaburi keju saja ya?”
“Oke, Ma.” Aku mengacungkan jempol pada Mama
pertanda siap melaksanakan tugas. Kemudian kulirik Kak Wulan yang sepertinya mencoba
protes atas entengnya tugasku, aku hanya menjulurkan lidah meledekinya.
Sambil bekerja aku bercerita banyak tentang
kegiatan sekolahku. Sesekali kami tertawa bersama. Terkadang Kak Wulan juga
jahil mengusapkan tepung ke pipiku. Dan Mama tidak membela, beliau hanya
tersenyum. Mungkin beliau tahu kalau itu hanya bercanda.
“Emm ... Dito. Kenapa kamu tiba-tiba ingin
membantu Mama, sayang? Biasanya kamu kalau pulang sekolah kan sudah capek,
terus tidur.”
“Dia pengen icip-icip tuh, Ma.” Sahut Kak Wulan sebelum
aku menjawab. Mama melirik sedikit melotot ke arah Kak Wulan.
“Hehe.. Maaf Ma. Habisnya, Si Gendut ini tiba-tiba
saja mau bantu-bantu. Kan aku heran.” Iya, begitulah pangilan kesayangan Kak
Wulan padaku, Si Gendut. Sebab tubuhku yang perutku yang sedikit besar dan
pipiku yang tembem.
“Tadi di sekolah, Mei bercerita kalau dia sering
membantu Mamanya ketika buat kue. Lalu dia juga bilang kalau membantu orang
lain di bulan Ramadhan ini pahalanya akan dilipatgandakan jadi banyak.”
Mama hanya manggut-manggut menyimak ceritaku.
“Lalu, kata pak Ustadz kalau kita punya banyak
pahala, maka akan disayang sama Allah, kemudian dimasukkan surga. Nah, kan
kalau Dito dimasukkan surga, Dito mau ngajak Mama, Papa dan....... Kak Wulan
diajak nggak, Ma?” aku mengakhiri ceritaku dengan pertanyaan kepada Mama yang
kemudian dijawab dengan tawa Mama dan usapan tepung dari tangan Kak Wulan ke
pipiku.
“Iya.. iyaa.. Kak Wulan kuajak juga.” Segera aku
memutuskan mengajak Kak Wulan ke surga kalau aku diijinkan Allah agar dia berhenti
mengerjaiku.
Mama hanya tersenyum melihat keakraban kami. Aku
kembali pada pekerjaanku menaburi keju-keju sesuai dengan pengarahan Mama.
Mama orangnya baik, tidak pernah marah padaku. Kak
Wulan juga sebenarnya baik, hanya saja dia sering jahilin aku. Tapi kalau
sedang baik dia bisa membelikan apapun yang aku mau. Asal dia punya uang tentunya.
Sesuai dugaanku, pekerjaan di dapur ternyata
memang benar-benar tidak gampang. Panas, belepotan, ribet, dan yang paling
penting aku jadi tergiur dengan kue-kue ini. Ingin rasanya kucaplok saja
semuanya sekarang. Tapi aku harus sabar. Kata Mama, kalau puasa harus sabar
atas segala godaan. Termasuk makanan-makanan lezat didepanku ini.
Kruuucuk... kruuucuk... Kruuucuk...
Tiba-tiba perutku berbunyi. Kak Wulan dan Mama
langsung memandangku bersamaan.
“Hwakakakaka... Suara apaan tuhh. Seperti ada
cacing-cacing yang sedang demo deh...” Kak Wulan tertawa ngakak mendengar bunyi
perutku.
“Dito Sayang, kamu istirahat saja ya. Tidur siang,
biar enak badannya.” Bujuk Mama. Aku tahu Mama hanya menghiburku agar aku tidak
merasa semakin lapar di depan kue-kue ini.
“Aku tidak apa-apa kok, Ma.”
“Yakin, kamu??” Lirik Kak Wulan menggoda.
Aku terdiam cukup lama. Aku melihat jam yang ada
di dinding. Baru jam setengah tiga. Belum ashar. Berarti maghrib masih lama.
Tapi perut ini tak bisa berbohong. Dia tertarik dengan kue-kue buatan Mama.
“Emmm.. Ma, aku masih ingin membantu Mama dan Kak
Wulan. Aku juga ingin dapat banyak pahala dan disayang Allah. Tapi... tapi...
perutku, Ma.” Aku tak mampu meneruskan kata-kataku.
Kak Wulan yang dari tadi meledekku sepertinya
berubah jadi kasihan melihatku. Mama tersenyum memahami anak kecilnya yang
tengah kelaparan. Sambil mengelus kepalaku, Kak Wulan pun berkata, “Ya sudah
Gendut-ku sayang, kamu istirahat saja, tidur nggak pa-pa kok. Nanti Kakak
bangunin. Lagian kamu juga sudah bantu banyak.”
“Ya memang sih, tidurnya orang puasa itu juga
dapat pahala. Tapi kalau kamu mau pahala lebih, dan kalau kamu tidak ngantuk,
kamu bisa mengaji, Sayang. Nunggu berbuka sambil ngaji kan lebih keren daripada
tidur. Sudah dapat pahala, disayang Allah, nggak lihat kue-kue ini pula yang
bikin kamu tambah lapar. Iya kan?? Sekarang terserah kamu, mau pilih yang
mana?” Mama menambahkan sambil mengelus pipiku lembut.
“Jadi Mama dan Kak Wulan nggak pa-pa kalau aku
tinggal?”
“Ya nggak papa lah, Gendut. Kami senang kamu sudah
membantu sebentar. Sekarang kamu mau ngapain, adikku sayang?” tanya Kak Wulan.
“Emmm... mau tidur tapi sebentar lagi ashar,
setelah itu nggak baik tidur setelah ashar. Aku mau ngaji aja, Kak. Tapi kalau
nanti capek terus ketiduran bangunin ya??”
“Haha... kok ada ngaji terus ketiduran. Tapi iya
deh. Nanti kalau ketiduran dibangunin.”
Akhirnya aku beranjak dan membersihkan wajah dan
tanganku yang kotor sebab tepung dan bahan-bahan kue lainnya. Setelah wudhu aku
langsung menuju kamar sholat, lalu membaca al-Qur’anku huruf per huruf, ayat
per ayat. Aku bersabar menunggu waktu berbuka ditemani oleh ayat-ayat Allah.
***
Dug... dug... dug... Allahu Akbar... Allahu Akbar....
Suara-suara pujian kebesaran Allah telah
dikumandangkan dari setiap pengeras-pengeras masjid. Tandanya waktu berbuka
telah tiba. Aku segera menghampiri meja makan untuk mengambil air putih sebagai
pembuka dan tiga butir kurma yang selalu disiapkan Mama.
Keluargaku membiasakan berbuka dengan air putih dan
kurma terlebih dahulu seperti yang disunnahkan Rasulullah, kemudian sholat
maghrib berjamaah, barulah kami makan bersama.
Ketika waktu makan tiba, mataku menjelajahi satu
per satu makanan yang ada di meja. Semuanya lezat, pasti Mama yang masak, dan
Kak Wulan hanya membantu hehe... Tapi aku tidak menemukan satu hal di sini. Kue
yang tadi siang tidak dihidangkan di meja ini. Padahal aku ingin sekali
mencicipi hasil karyaku. Tapi aku diam saja, tidak berani bertanya. Mungkin
memang kue itu disiapkan hanya untuk Lebaran. Lagian Papa dan Mama juga sedang
sibuk makan, aku tak ingin mengganggu dengan pertanyaanku. Aku akan bersabar
menungguu besok saja untuk mencicipinya.
Tanpa sepengetahuanku ternyata Kak Wulan
memperhatikan tingkahku. “Kamu nyari ini ya??” ujarnya sambil mengangakat
setoples kecil nastar keju dan coklat ke hadapanku. Terang saja aku langsung
terbelalak dan menganga senang.
“Aku tahu kamu sedang mencari hasil karyamu yang
menjadikan perutmu ‘konser’ seharian kan?”
Aku hanya tersenyum. Berharap agar kue itu segera
diberikan padaku.
“Sebenarnya kue ini hanya untuk Lebaran.”
“Yahhhh...” Aku menghelah lemas tak bersemangat.
“Tapi berhubung kamu sudah bantu Kakak dan Mama
seharian ini, dan mau bersabar menunggu waktu buka sambil mengaji, maka kue ini
hadiah buat kamu. Nih ambil semuanya.” Seru Kak Wulan memberikan setoples kecil
kue nastar.
“Wahhh,,, terima kasih Ma, terima kasih Kak. Papa,
aku dapat kue.” Teriakku kegirangan sambil mengangkat setoples kue. Papa dan
Kak Wulan bergantian mengacak-acak rambut dan sesekali perutku. “Dasar Gendut,”
kata Kak Wuan.
***
Di luar, gema takbir dan tahmid serta puji-pujian
diserukan dengan ramai penuh kedamaian dan hidmat menyambut hari kemenangan
yang dihadiahkan Allah. Sesekali aku mendengar bunyi petasan dan percikan
kembang api di langit-langit malam. Aku menikmati malam ini dengan bertakbir
bersama Kakak, Papa, dan Mama di teras depan rumah sambil menikmati kue nastar
buatanku, ditemani hiasan kembang api yang indah di malam penuh kemenangan.
Fitrotun Nihlah, lahir di Lamongan, 05 Februari
1991. Ketertarikannya dalam dunia tulis menulis membuat dia terus mengasah kemampuannya. Baginya menulis adalah menyampaikan apapun yang
tak mampu terwakili oleh lisan, maka tulisan akan melakukannya. Fb yang
dimiliki sesuai dengan nama aslinya atau lebih lanjut via Hp (085730390890) dan
email: fitrotunnihlah@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar