Seorang pemuda
sedang duduk santai dengan secangkir kopi di tangannya. Tiba-tiba Ia dikagetkan
oleh suara lelaki yang bila ditaksir usianya 5 tahun lebih tua dari usianya.
“Orang Lamongan
ya Mas? Boleh saya duduk di sini?”
“Eh iya, monggo silahkan!” Sulaiman menjawab
dengan sedikit gugup sebab kaget.
“Emm kaosmu
Persela, sampean Lasykar Joko
Tingkir?” Sulaiman tak menjawab, Ia hanya mengangguk dengan mata masih menatap
tajam layar komputer di depannya.
“Kira-kira
kenapa Joko Tingkir?”
“Sampean nanya saya?”
“Ya siapa lagi?
Sebelumnya kenalkan, nama saya Sarjo.”
“Oh iya, salam
kenal. Saya Sulaiman. Sebenarnya semua itu terinspirasi dari kegigihan,
keuletan, kecerdasan dan kemahiran Joko Tingkir yang bernama asli Mas Karebet, putra
Ki Ageng Pengging yang diambil anak angkat oleh Nyai Tingkir. Ceritanya, dahulu
dia bisa mengabdikan diri di Demak
dengan bantuan Kyai Ganda Mustaka, perawat Masjid Demak. Atas kecerdasan dan
kecerdikannya,
Joko Tingkir diterima di lingkungan pusat pemerintahan kerajaan Demak, bahkan
mendapat kepercayaan sebagai Lurah Wirotamtomo.
Karir
Joko tingkir semakin meningkat hingga dirinya diambil mantu oleh sultan Demak
serta diangkat mejadi Adipati Pajang. Sebab jabatan ini, terjadilah perseteruan dan perebutan kekuasaan. Namun dengan
kesaktian dan kepiawaian Joko Tingkir,
dia berhasil mengalahkan Adipati Jipang Panoreh (Aria
Penangsang). Diharapkan, kegigihan, keuletan dan kecerdasan Joko Tingkir mampu
menginspirasi Lamongan. Begitulah yang saya tahu.” Sulaiman mengakhiri penjelasannya dengan menyruput
kopinya.
“Tapi
kenapa Joko Tingkir? Kalau menyimak cerita sampean
kan Joko Tingkir itu tidak ada kaitannya dengan Lamongan?” lanjut Sarjo dengan
penasaran. Sulaiman
Nampak berpikir,
sepertinya yang ditanyakan Sarjo memang ada benarnya.
“Ada
kok kaitannya!” seorang wanita mendekat.
“Maksud
sampean apa?” potong Sulaiman dan
Sarjo hampir
bersamaan. Yang ditanya hanya tersenyum dan melangkah
ringan.
“Mohon
maaf, saya tidak bermaksud mencuri dengar apa yang kalian bicarakan. Tapi saya
tidak sengaja mendengarnya dan menyimak. Emmm nama saya Fitri. Boleh saya bergabung?”
wanita yang dari tadi sibuk dengan bukunya meminta bergabung dalam diskusi itu.
“Oh
silahkan, silahkan duduk. Lalu apa maksud dari pernyataan sampean tadi?” Sarjo tak sabar ingin mendengar penjelasannya.
“Jadi, saya ini dari Maduran. Di
salah satu Dusun Maduran, terdapat makam yang diyakini oleh masyarakat sekitar
sebagai makam Joko Tingkir, tepatnya di Dusun
Dukoh Kelurahan Pringgoboyo Maduran Lamongan.
Tidak hanya masyarakat setempat, melainkan masyarakat
dari luar kota juga banyak yang berziarah. Bahkan mantan presiden RI, almarhum
KH. Abdurrohman Wahid (Gus Dur) juga pernah menziarahi
dan
menyatakan makam itu adalah makam Joko Tingkir.”
“Lalu
bagaimana sampean bisa
yakin kalau itu adalah makam dari Joko Tingkir?”
“Oh
jadi begini, dulu makam tersebut hanya terkenal dengan nama makam Mbah Anggung
Boyo, sesepuh desa Pringgoboyo. Namun setelah kedatangan Gus Dur yang saat itu
hendak mencalonkan diri sebagai Presiden RI berziarah, barulah diketahui kalau
itu makam Sultan Hadi Wijaya/ Mas Karebet/ Joko Tingkir. Pasalnya beliau
menuturkan kalau sudah mencari bertahun-tahun makam Joko Tingkir, dan ketemulah
di daerah itu. Ketika ditanya oleh sesepuh desa tersebut tentang cerita yang
bisa dipercaya bahwa makam tersebut adalah makam Joko Tingkir, Gus Dur menceritakan sama halnya yang
diceritakan Mas Sulaiman tadi, hanya saja ketika terjadi perseteruan dan beliau
dikejar-kejar oleh Aria Penangsang,
beliau melakukan perjalanan ke Madura untuk meminta bantuan pada sahabatnya.
Namun ketika perjalanan menuju Demak
di
tengah perjalanan gurunya memerintahkan beliau untuk menyebarkan ilmu agama,
tidak perlu kembali untuk perebutan kekuasaan. Akhirnya Joko Tingkir melanjutkan perjalanan menggunakan perahu gethe’ melewati bengawan solo. Namun sampai di daerah
Laren perahu tersebut dikawal oleh 40 buaya ke arah bengawan mati desa
Pringgoboyo dan perahu yang
ditumpanginya mandeg tak mau
berjalan. Disitulah kemudian Joko Tingkir mendirikan padepokan untuk
mengajarkan keilmuannya. Untuk menghilangkan jejaknya dari Aria Penangsang
beliau merubah namanya dengan gelar Anggung Boyo.
Dan ketika meninggal beliau berpesan untuk dimakamkan di dusun Dukoh
berdampingan dengan Ulama’ bernama Mbah Jalil beserta abdinya bernama Putri
Cempo.” Fitri tersenyum mengakhiri ceritanya.
“Oww...
Aku orang Lamongan, tapi aku baru tau tentang itu,”
ucap Sulaiman sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Sepertinya
Anda harus lebih banyak belajar tentang Lamongan kawan hahaha,” sahut Sarjo
dengan menepuk-nepuk pundak Sulaiman.
Fitrotun Nihlah
20:45, Maduran, 26 Maret 2014
Dimuat dalam Buletin "SANDAL JEPIT" Sekolah Menulis FLP Lamongan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar