Laman

Selasa, 22 April 2014

LAMONGAN DAN JOKO TINGKIR



Seorang pemuda sedang duduk santai dengan secangkir kopi di tangannya. Tiba-tiba Ia dikagetkan oleh suara lelaki yang bila ditaksir usianya 5 tahun lebih tua dari usianya.
“Orang Lamongan ya Mas? Boleh saya duduk di sini?”
“Eh iya, monggo silahkan!” Sulaiman menjawab dengan sedikit gugup sebab kaget.
“Emm kaosmu Persela, sampean Lasykar Joko Tingkir?” Sulaiman tak menjawab, Ia hanya mengangguk dengan mata masih menatap tajam layar komputer di depannya.
“Kira-kira kenapa Joko Tingkir?”

Sampean nanya saya?”
“Ya siapa lagi? Sebelumnya kenalkan, nama saya Sarjo.”
“Oh iya, salam kenal. Saya Sulaiman. Sebenarnya semua itu terinspirasi dari kegigihan, keuletan, kecerdasan dan kemahiran Joko Tingkir yang bernama asli Mas Karebet, putra Ki Ageng Pengging yang diambil anak angkat oleh Nyai Tingkir. Ceritanya, dahulu dia bisa mengabdikan diri di Demak dengan bantuan Kyai Ganda Mustaka, perawat Masjid Demak. Atas kecerdasan dan kecerdikannya, Joko Tingkir diterima di lingkungan pusat pemerintahan kerajaan Demak, bahkan mendapat kepercayaan sebagai Lurah Wirotamtomo.
Karir Joko tingkir semakin meningkat hingga dirinya diambil mantu oleh sultan Demak serta diangkat mejadi Adipati Pajang. Sebab jabatan ini, terjadilah perseteruan dan perebutan kekuasaan. Namun dengan kesaktian dan kepiawaian Joko Tingkir, dia berhasil mengalahkan Adipati Jipang Panoreh (Aria Penangsang). Diharapkan, kegigihan, keuletan dan kecerdasan Joko Tingkir mampu menginspirasi Lamongan. Begitulah yang saya tahu.” Sulaiman mengakhiri penjelasannya dengan menyruput kopinya.
“Tapi kenapa Joko Tingkir? Kalau menyimak cerita sampean kan Joko Tingkir itu tidak ada kaitannya dengan Lamongan?” lanjut Sarjo dengan penasaran. Sulaiman Nampak berpikir, sepertinya yang ditanyakan Sarjo memang ada benarnya.
Ada kok kaitannya!” seorang wanita mendekat.
“Maksud sampean apa?” potong Sulaiman dan Sarjo hampir bersamaan. Yang ditanya hanya tersenyum dan melangkah ringan.
“Mohon maaf, saya tidak bermaksud mencuri dengar apa yang kalian bicarakan. Tapi saya tidak sengaja mendengarnya dan menyimak. Emmm nama saya Fitri. Boleh saya bergabung?” wanita yang dari tadi sibuk dengan bukunya meminta bergabung dalam diskusi itu.
“Oh silahkan, silahkan duduk. Lalu apa maksud dari pernyataan sampean tadi?” Sarjo tak sabar ingin mendengar penjelasannya.
“Jadi, saya ini dari Maduran. Di salah satu Dusun Maduran, terdapat makam yang diyakini oleh masyarakat sekitar sebagai makam Joko Tingkir, tepatnya di Dusun Dukoh Kelurahan Pringgoboyo Maduran Lamongan. Tidak hanya masyarakat setempat, melainkan masyarakat dari luar kota juga banyak yang berziarah. Bahkan mantan presiden RI, almarhum KH. Abdurrohman Wahid (Gus Dur) juga pernah menziarahi dan menyatakan makam itu adalah makam Joko Tingkir.
“Lalu bagaimana sampean bisa yakin kalau itu adalah makam dari Joko Tingkir?”
Oh jadi begini, dulu makam tersebut hanya terkenal dengan nama makam Mbah Anggung Boyo, sesepuh desa Pringgoboyo. Namun setelah kedatangan Gus Dur yang saat itu hendak mencalonkan diri sebagai Presiden RI berziarah, barulah diketahui kalau itu makam Sultan Hadi Wijaya/ Mas Karebet/ Joko Tingkir. Pasalnya beliau menuturkan kalau sudah mencari bertahun-tahun makam Joko Tingkir, dan ketemulah di daerah itu. Ketika ditanya oleh sesepuh desa tersebut tentang cerita yang bisa dipercaya bahwa makam tersebut adalah makam Joko Tingkir, Gus Dur menceritakan sama halnya yang diceritakan Mas Sulaiman tadi, hanya saja ketika terjadi perseteruan dan beliau dikejar-kejar oleh Aria Penangsang, beliau melakukan perjalanan ke Madura untuk meminta bantuan pada sahabatnya. Namun ketika perjalanan menuju Demak di tengah perjalanan gurunya memerintahkan beliau untuk menyebarkan ilmu agama, tidak perlu kembali untuk perebutan kekuasaan. Akhirnya Joko Tingkir melanjutkan perjalanan menggunakan perahu gethe’ melewati bengawan solo. Namun sampai di daerah Laren perahu tersebut dikawal oleh 40 buaya ke arah bengawan mati desa Pringgoboyo dan perahu yang ditumpanginya mandeg tak mau berjalan. Disitulah kemudian Joko Tingkir mendirikan padepokan untuk mengajarkan keilmuannya. Untuk menghilangkan jejaknya dari Aria Penangsang beliau merubah namanya dengan gelar Anggung Boyo. Dan ketika meninggal beliau berpesan untuk dimakamkan di dusun Dukoh berdampingan dengan Ulama’ bernama Mbah Jalil beserta abdinya bernama Putri Cempo.” Fitri tersenyum mengakhiri ceritanya.
Oww... Aku orang Lamongan, tapi aku baru tau tentang itu,” ucap Sulaiman sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Sepertinya Anda harus lebih banyak belajar tentang Lamongan kawan hahaha,” sahut Sarjo dengan menepuk-nepuk pundak Sulaiman.

Fitrotun Nihlah
20:45, Maduran, 26 Maret 2014


Dimuat dalam Buletin "SANDAL JEPIT" Sekolah Menulis FLP Lamongan
Edisi Perdana, 20 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar