Aku telah berdiri di depan sebuah gedung kebanggaan, dengan seragam
kebanggaan pula. Aku selalu membuka gerbang ini tepat pukul 05:30. Masih sepi,
selalu aku yang pertama sebab tugasku adalah membuka gerbang besar berwarna
hitam ini sebagai akses jalan masuk para guru dan murid yang akan belajar. Belum
ada yang datang sepagi ini. Aku memutuskan untuk duduk di pos dan menyruput
kopi hitam buatan isteriku. Meski hanya seorang satpam sekolah, pekerjaan ini
membanggakan. Aku yang membukakan gerbang itu, aku yang menjaga keamanan sekolah
selama mereka belajar. Bagiku, aku ikut andil dalam proses sekolah ini. Pikiranku
melayang mencari-cari hal yang bisa ku syukuri dibalik seragam putih hitam
dengan kalung peluit di lengan kiriku.
Kopi yang tadi kuminum sedikit tumpah. Mungkin karena masih terlalu panas
dan aku lupa meniupnya. Aku mengambil kain lap untuk membersihkannya. Kulirik dinding
putih yang menjadi batas ruangan ini. Jarum jam di “kantor”ku sudah menunjukkan
jam 6 kurang 15 menit. Aku beranjak dari tempat dudukku kemudian berdiri tegap
didepan gerbang menyalami satu persatu yang masuk dengan senyum manisku. Aroma khas
mesin motor yang tercium dihidungku membuyarkan segar dan sejuknya udara pagi
yang kuhirup tadi. Wanita paruh baya dengan jilbab panjangnya memasuki gerbang,
dengan sapaan hasnya Ibu Triya melempar senyum, sosok kepala sekolah dengan
disiplin tinggi dan selalu tepat waktu. Para siswa berseragam putih abu-abu
lengkap dengan sepatu dan tas berisi buku dan alat tulis satu per satu memasuki
area sekolah dengan wajah yang sumringah.
Aku berjalan tegap ke arah selatan kantor sekolah. Jam tangan digitalku
menunjukkan angka 06:25. Masih ada waktu 35 menit sebelum memulai pelajaran
Bahasa Indonesia yang terjadwal di jam pertama. Gedung bercat hijau itu nampak
cerah sebab pantulan sinar matahari pagi, seolah tersenyum menyambut
kedatanganku. Tiba-tiba langkah kaki kuperlambat saat melewati tanaman bunga
mawar di taman tepi jalan akses gedung kantor dan gedung kelas. Baunya menyeruak
wangi menusuk ujung pembau. Sempat kulirik, dan kusentuh: cantik. Aku meninggalkan
mawar merah itu dan memutuskan untuk melanjutkan langkahku menyusuri setapak
demi setapak lantai paving berbentuk persegi panjang. Sambil kesulitan menenteng
laptop dan buku-buku mengajarku, aku menyempatkan melempar senyum pada
segerombolan anak yang berjalan searah denganku menuju kelas.
Langkah kakiku sampai pada pijakan awal keramik putih yang melapisi lantai
gedung kelas. Putih, bersih, mengkilat, tak satupun bekas sampah tercecer. Mungkin
bagian piket kebersihan telah menyelesaikan tugasnya lebih awal dari jadwal
kedatangan murid-murid dan para guru. Sekelilingku tidak sedang ramai, tidak
pula sepi. Aku melihat sekali lagi jam ditanganku, 06.30. Aku melangkah
memasuki kelas berlebel “Kelas X IPA Unggulan” yang menggantung diatas pintu
masuk. Aroma dan hawa dingin kelas yang dilengkapi dengan fasilitas AC
membuatku duduk tenang menunggu muridku lengkap untuk membaca Surat Waqi’ah dan
do’a belajar sebelum memulai pelajaran.
Selalu tepat waktu. Jam 06:25 tepat Bu Fatma yang sudah hampir 14 tahun
mengabdikan diri di sekolah ini menunduk hormat sebagai salam sebelum
melangkahkan kakinya menuju gedung kelas. Aku masih berdiri di depan kantor
yang didominasi warna hijau kuning dengan puluhan tanaman hias didepannya. Aku melihat
sekeliling, belum terlalu ramai. Anak-anak hanya beberapa yang terlihat
berangkat lebih awal. Aku memperhatikan langkah Bu Fatma yang penuh semangat,
senyumnya tak pernah luput menyapa setiap yang berpapasan dengannya. Selama aku
menjabat sebagai kepala sekolah, tak pernah sekalipun aku melihat wanita yang
usianya lebih tua dariku ini terlambat, hanya sesekali saat beliau izin.
Di atas paving halaman depan kantor inilah setiap pagi aku merasakan
semuanya. Pagi ini, sebelum Bu Fatma datang matahari sudah terlebih dulu
mencubit kulitku, untung kukenakan hijab yang menjadikan sinar matahari pagi
sedikit kesulitan menembus kulit kepalaku. Aku menikmati harum dan segarnya
aroma bunga di halaman depan kantorku. Dengan tetap berdiri dan menekan satu
persatu tasbih counterku Aku melihat guru-guru pendidik disekolah ini
satu persatu datang dan memasuki kantor untuk mengisi absensi yang telah tersedia
absen di meja masuk ruang guru. Aku melihat jam tanganku, 10 menit lagi
lantunan do’a dan Surat Waqi’ah akan dibacakan dan dipimpin langsung dari
kantor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar