@fitnie05
Alhamdulillahi ladzi qod wafaqo # Lil
‘ilmi khoiro kholqihi wa littuqo
Hatta nahat qulubuhum linahwihi # Famin
‘adzimi sya’nihi lam tahwihi
Muqoddimah Imrithi itu adalah nadhom keramat bagi Septina.
Gadis dewasa ini sekarang sukses menjadi guru Nahwu yang mahir di sebuah Pondok
Pesantren. Bukan hal mudah untuk menjadi Ustdzah Nana -panggilan Septina- yang saat ini selalu tersenyum ramah.
Dulunya Ustadzah Nana hanyalah seorang gadis cilik
yang manja. Sifat manjanya itu terkadang kelewat batas kepada sang Ayah. Namun
sang Ayah tak pernah merasa direpotkan sama sekali dengan sifat manja putrinya
tersebut.
Justru Ayahnya semakin sayang kepadanya. Sampai akhirnya ketika lulus
SD Nana kecil diboyong Ayahnya ke sebuah pesantren.
Bulan pertama, bulan ke dua, sampai bulan ke lima
sulit bagi gadis berkulit putih bersih itu untuk betah tinggal di pesantren
dengan teman-teman barunya. Hampir setiap sore Ayahnya menjenguk ke pesantren.
Beruntung rumah mereka tidak jauh dari pesantren, hanya sekitar 1 Km. Jika sang
Ayah tidak datang sore itu, bisa jadi Ia akan berdiri seperti satpam di depan
gerbang pesantren yang menunggu kedatangan tamu agung. Sampai saat sore itu, Kamis
21 Desember 2006 sang Ayah harus benar-benar melapangkan dada untuk pamit meninggalkan
Nana kecil ke perantauan sebab di sanalah ladang rizkinya. Nana yang manja
tentunya tak bisa merelakan begitu saja. Namun, sang Ayah berhasil meyakinkan
putri kesayangannya itu. Sebab rasa sayang yang begitu besar, Nana berjanji
tidak akan cengeng, akan belajar mandiri dan tidak akan mengganggu Ayahnya yang
sedang bekerja untuknya. Dia juga berjanji akan giat belajar. Selain Nana, sang
Ayah pun mengucap janji bahwa Ia tidak akan pernah telat untuk menelfon dan
menanyakan kabarnya.
Matahari Jumat begitu cerah, tapi tidak untuk
Nana. Pagi itu sang Ayah akan benar-benar pegi ke tempat yang lebih jauh
darinya. Meninggalkannya hidup tanpa melihat wajah ayahnya di setiap sore. Meski
bukan untuk selamanya, ini adalah kali pertama Ia ditinggal seorang yang paling
Ia cintai. Sebenarnya Nana juga mencintai Ibunya, tapi sayangnya Ia lebih dekat
dengan sang Ayah.
Dua tahun berlalu sang Ayah tak pernah pulang.
Bagi Nana tak mengapa. Sebab dia masih terus bisa mendengar sauara lelaki
kebanggannya itu. Lelaki yang sejak Nana masih kecil dia terus ada di
sampingnya. Memberikan apa yang Nana mau. Membantu apa yang menjadi kesulitan
Nana. Dengan begitu ia selalu tahu bahwa beliau sehat. Ayahnya sempat
menceritakan kenapa dirinya tak bisa pulang. Itu semua sebab keadaan ekonomi
yang pas-pas-an untuk biaya hidup di perantauan dan uang sekolah Nana. Nana
sangat memahami sekali, ia telah berubah menjadi gadis yang penuh pengertian
dan mandiri. Semenjak ditinggal Ayahnya dia mulai mengatur sendiri urusan
keuangan yang dia perlukan di pesantren. Ketika Ayahnya mengirimkan uang
padanya secara rutin setiap bulan, dia hanya akan menggunakan uang itu membayar
biaya bulanan pesantren, lalu mengambil secukupnya untuk jajan satu bulan, dan
seebihnya akan dia tabung di wali kelasnya.
Di tahun ketiga, ketika Nana menginjakkan kakinya
dan duduk di bangku kelas IX MTs -setingkat SMP- Nana sempat menelfon Ayahnya memohon
dengan sangat kalau beliau bisa hadir di acara Khotmul Imrithi yang akan ia
gelar di rumah dengan mengundang teman-teman dan guru-gurunya. Sebab hafalan
Imrithi itu bagi Nana adalah kado yang ingin ia persembahkan untuk Ayahnya
sebagai hadiah dan bukti bahwa Nana sekarang berbeda dengan Nana yang manja dan
malas seperti dulu. Dan kabar gembiranya, sang Ayah mengabulkan. Beliau akan
sudah berada di rumah sesuai dengan hari yang Nana minta yakni Minggu, 21
Desember 2009.
Kegembiraan Nana terus disalurkan dengan semakin
giatnya Ia memperlancar dan memperkuat hafalannya. Ia ingin kado ini menjadi
kado istimewa dan terbaik. Beruntung para ustadz dan ustadzahnya dengan senang
hati membantu menyimak hafalan Nana.
Siang itu, Kamis 18 Desember 2008 Nana mendapat
telfon, bahwa Ayahnya akan pulang dan akan sampai rumah besok pagi. Meskipun
dia tidak bisa pulang sebab dia tinggal di pesantren, namun dia sangat bahagia
sebab Ayahnya menepati janjinya saat itu. Hingga hari Minggu pagi Ia dijemput
sang Kakak untuk pulang. Dia mengira bahwa ajakan pulang pagi itu sebab dia
harus membantu keluarganya untuk mempersiapkan acara sore nanti. Ternyata sejak
kedatangannya hari Jum’at lalu sang Ayah jatuh sakit, dan pagi itu harus
dilarikan ke Rumah Sakit. Sebab kondisi sang Ayah yang kritis itulah Nana
dijemput. Betapa kagetnya Nana dengan kondisi seperti ini. Selama ini dia tidak
pernah tahu bahwa penyakit kadar gula yang tinggi, lambung, dan liver yang
menjadi satu bersarang pada tubuh Ayahnya. Acara Khotmul Imrithi Minggu sore
seketika dibatalkan dan di tunda hingga waktu yang belum pasti.
Hari pertama di Rumah Sakit Nana terus menggenggam
tangan Ayahnya, tak rela digantikan siapapun. Hanya sesekali ia meninggalkan
beliau ketika waktu sholat tiba. Saat-saat menjaga itu pula ia tak berhenti
berdo’a dan sesekali menahan tangis sambil terus mengingat hafalan Imrithinya.
Hari kedua perawatan sang Ayah, Nana tak bisa
menjaganya. Ia harus kembali ke pesantren. Hari itu dan satu minggu ke depan Ia
harus mengikuti rentetan kegiatan Ujian Akhir Kelas IX tingkat MTs. Nana tak
tenang dengan keadaan ini. Tapi biar bagaimanapun Ia harus bisa konsentrasi dalam
ujiannya.
Satu minggu berlalu, ada jeda libur 1 hari sebelum
diadakannya Try Out bersama se-Kabupaten. Nana meminta izin pada pengurus pesantren
untuk menjenguk Ayahnya. Selama di Rumah Sakit seperti hari pertama, Ia tak
melepaskan diri sedetik pun dari sisi Ayahnya, kecuali saat hendak Sholat.
Berbeda dengan kondisi Ayahnya saat hari pertama kali dirawat, hari itu sang
Ayah telah membaik perkembangannya.
Nana bercerita banyak tentang kehidupannya di
pesantren yang ditanggapi dengan tersenyum dan sesekali terkekeh oleh sang
Ayah. Nana bercerita bahwa sejak Ayah pergi mencari nafkah, Ia telah berubah
menjadi pribadi yang mandiri dan tak pernah cengeng. Tapi yang tak pernah bisa
Ia rubah adalah ketakutannya jika harus kehilangan Ayahnya.
Sang Ayah pun tersenyum dan memberi nasihat bijak
padanya dengan suara yang masih parau dan lemah bahwa siapapun orangnya yang
berasal dari Allah, suatu saat pasti akan kembali padaNya. Entah kapan
waktunya, Allahu A’lam, hanya Allah yang Maha Tahu. Ayahnya pun
mengutarakan alasan utamanya kenapa beliau sangat ngotot untuk menitipkan putri
kesayangannya itu di pesantren.
“Nana sayang, Ayah bukan tak ingin hidup bersama
Nana. Bukan Ayah tak suka Nana ikut Ayah kemanapun Ayah pergi. Tapi sungguh
Ayah ingin Nana belajar ilmu agama dengan sungguh-sungguh. Dan bagi Ayah itu
hanya akan didapatkan di pesantren. Ayah tak pernah ingin dengan sekedar sekolah
kemudian jadi pintar, Nana membahagiakan Ayah dengan segala yang Ayah butuhkan,
dengan memberi semua materi duniawi, Ayah tak ingin itu semua nak. Yang Ayah
butuhkan hanya ketika Ayah kembali kepada Allah, ketika Ayah sudah tak mampu
lagi untuk beribadah, dan ketika Ayah tak diizinkan lagi untuk berdo’a, ada
Nana yang selalu mengirimkan do’a kepada Ayah. Ada Nana yang selalu meniatkan
belajar, pengamalan ilmu dan ibadahnya untuk menolong orang tua. Cukup itu nak.
Pesan Ayah, jangan pernah Nana terlihat sedih yang berlebihan oleh siapapun,
sesedih apapun keadaan Nana. Tapi ajaklah semua orang untuk berbahagia, ketika
kebahagian Nana peroleh. Cukup pada Allah Nana mencurahkannya dan menangis,” kata-kata
itulah yang terus terngiang ditelinga Nana, ketika ayahnya berpesan kepada Nana
dan tak seorang pun berada di ruangan itu.
Pesantren Nana yang tidak mengizinkan santrinya
untuk membajak sekolahnya dengan pulang pergi dari rumah, membuat Nana harus
rela berpisah lagi dengan Ayahnya untuk mengikuti Try Out nya. Namun ada kabar
bahagia bahwa di hari pertamanya Try Out, sang Ayah sudah diizinkan untuk
pulang dari Rumah Sakit. Nana bisa melaksanakan ujiannya dengan tenang. Nana
segera memohon izin pada keluarga untuk melaksanakan acara Khotmul Imrithinya
sesegera mungkin sekaligus syukuran atas kesehatan Ayah yang membaik.
Sengguh hidup dan mati seseorang hanyalah Allah
yang tau. Pagi hari, di saat semua siswa kelas IX bersiap berangkat ke sekolah
untuk menempuh hari terakhir Ujian Try Out, Nana di jemput oleh kakaknya, ia
harus pulang saat itu juga. Tanpa berkata apapun sang Kakak langsung menuju
kantor, mengizinkan Nana dan segera mengajaknya pulang. Nana yang merasakan hal
aneh tak berani bertanya apapun. Ia terlalu takut mendapat jawaban buruk dari
kakaknya. Benar saja, di ujung jalan Nana melihat banyak kerumunan orang di
depan rumahnya, ia melihat bendera warna kuning di sematkan pada pohon di
samping rumahnya. Di sebelah kirinya ada beberapa orang sedang menyiapkan air
dan alat-alat pemandian. Ia sempat memandang kakaknya yang tiada berani melihat
diri Nana. Bagi Nana percuma bertanya. Rasa penasaran dan tak enak dalam
hatinya membuat dia segera berlari memasuki rumah, dan betapa lututnya lunglai
tak mampu menahan raganya, sosok yang amat Ia cintai terbujur kaku dengan
berselimut kain putih dan mata terpejam. Lelaki yang kini terpejam dengan wajah
yang bersih dan senyum tipis yang nampak itu dikelilingi orang-orang yang
membaca yasin dan sesekali menyeka air mata di hadapannya.
Nana tak berdaya, dia menghampiri sosok itu dengan
berjalan ngesot tak mampu berdiri. Ia memegang lembut tangannya, mencium
punggung tangan yang terasa dingin. Lalu ia beranjak dan mencium pipi serta
kening sosok itu dengan terlebih dahulu menghapus air matanya. Ia tak ingin air
matanya menjadikan beban kepergian sosok yang amat ia cintai. Ia tak ingin
terlihat menangis di hadapan jasad yang tak bernyawa ini. Ia harus menepati
janji dan wasiat terakhir Ayahnya. Nana mulai menata hati, mengikhlaskan apa
yang telah terjadi. Ia tak ingin berlebihan menampakkan sedihnya.
Satu per satu pelayat memeluk dan menabahkan hati
Nana dan keluarganya. Jika dibandingkan dengan Kakak dan Ibunya, Nana lah yang
nampak lebih tabah dan tegar. Ibunya terlihat berkali-kali jatuh pingsan setiap
kali menangis dan meratap. Sedang kakanya memilih menangis dan menyendiri di
kamarnya. Sebab Nana tahu apa yang diinginkan sang Ayah darinya.
Masuk ke rumah Nana seorang sepuh dan
terhormat dari pesantren, Ibu Nyai. Beliau memeluk dan membisikkan hal-hal
tentang ketabahan pada Nana, Nana tersenyum dan kembali memeluk sang Nyai
dengan berbisik, “Bunda,” begitu Nana memanggil beliau, “Nana tidak apa-apa, Nana
Ikhlas, do’akan saja Ayah tenang, diterima amalnya dan diampuni dosa-dosanya.” Kata-kata
itulah yang selau Nana ucapkan mengiringi senyum ketabahan setiap kali para
pelayat, sanak saudara dan teman-temannya memeluk dan memandang iba padanya.
Tepat hari ke tujuh setelah kepergian sang Ayah,
Nana mengadakan acara Khotmul Imrithi di rumahnya, dengan mengundang Romoh
Kiyai dan Bu Nyai, Asatidz Asatidzah, dan teman-temannya. Tetap ia
persembahkan kado itu untuk sang Ayah yang telah tenang di sisi Allah, acara
itu sekaligus untuk kirim do’a bersama kepada almarhum Ayahnya.
Sebelum Nana kembali ke pesantren, Nana
menyempatkan pamit ke makam sang Ayah. Ia mengucapkan janji bahwa akan terus
menghafal Imrithi, dan akan terus ia kado kan untuk Ayahnya. Ia juga berjanji
akan melanjutkan pada tingkatan Nahwu yang selanjutnya, yaitu Alfiyah Ibnu
Malik. Janji itu pun terucap lagi, Ia akan terus menjaga Ibu dan Kakaknya, Ia
akan terus tersenyum dan hanya kepada Allah ia mengadu dan mengeluh.
Dalam dunia pesantren setiap tingkah kita akan
sangat dikenali oleh sekeliling kita. Nana tak ingin kesedihan atas kehilangan
orang yang menjadi kebanggan hidupnya di ketahui oleh orang lain, bahkan sampai
dikasihani. Ia merubah pola hidup dan pola belajarnya. Ia lebih banyak
menghabiskan waktunya untuk belajar dan menghafal. Tapi meski begitu, Ia tak
pernah menjauhkan diri dari teman-temannya. Sesekali ia masih bercanda dan
bermain bersama teman-temannya. Ia berubah menjadi semakin ramah. Semua itu
semata untuk menghapus sedih dan rindu dihatinya.
Hari kelulusan bagi Nana. Nana yang masih sering
di landa rindu pada sosok yang hari itu tak bisa menghadiri acara Akhirussanah-nya
tak pernah menyangka bahwa ia akan mendapatkan nilai terbaik. Dan itu berarti
secara otomatis mambawa namanya untuk dicantumkan dalam deretan nama-nama yang
terdaftar di kelas unggulan tingkat Madrasah Aliyah. Di kelas itulah Nana akan
mempelajari kedalaman Ilmu Nahwu Alfiyah Ibnu Malik.
Semakin tahun, semakin baik prestasi yang di
sandang Nana. Ia terus belajar dan menghafal. Tiga tahun di tingkat Madrasah
Aliyah (MA) tak ia rasakan. Hari itu tepat di akhir tahun pelajaran 2012, Akhirissanah
terbesar dan termegah menjadi saksi pengukuhan kelulusan Nana dan
teman-temannya. Nama Nana terpanggil lagi sebagai lulusan terbaik Pondok
Pesantren. Dia maju dan naik ke podium untuk memberikan pidatonya.
Tak banyak yang Nana katakan, dalam pidatonya ia
berkata:
“Saya bisa berdiri di sini atas doa dari
kedua orang tua saya dan kakak saya tercinta, serta atas bimbingan dari semua Asatidz dan Asatidzah. Saya benar-benar
berterima kasih. Tiga tahun silam saya juga diminta untuk berpidato seperti ini
ketika menerima penghargaan terbaik di tingkat MTs, tapi saya tak bisa berkata
apa-apa. Bagi saya saat itu rindu pada sosok Ayah yang meninggalkan saya ketika
saya sedang butuh dukungan penuh darinya adalah pukulan yang luar biasa.
Walaupun saat itu saya sudah berusaha mengikhlaskan semuanya tapi masih terlalu
berat bagi saya untuk berkata-kata di depan umum. Tapi setelah itu saya selalu
mengingat pesan Ayah sebelum beliau meninggal kepada saya, bahwa beliau tidak
hanya butuh anak yang pandai lalu kaya dan berlimpah harta, tapi beliau butuh
anak yang bisa mendoakan beliau saat meninggal, itulah sebabnya saya
dipesantrenkan. Pesan beliau yang terakhir, tak pernah boleh saya melihatkan
kesedihan saya pada siapapun sesedih apapun keadaan saya, kecuali kepada Allah.
Itulah sebabnya kala rindu pada sosok Ayah menjelma, saya selalu jadikan itu
sebuah motivasi penyemangat belajar. Bagi saya hanya dengan itu saya bisa
menunjukkan bakti saya dan cinta saya padanya. Dan hari ini saya mendapatkan
wujud dan manisnya buah ketabahan dan kebesaran hati menerima apapun yang sudah
menjadi kehendak-Nya. Terima Kasih Ayah, Terima Kasih Pesantrenku.”
Usai prosesi kelulusan itu, tak menunggu lama.
Nana langsung mendaftarkan diri untuk kuliah di Fakultas Tarbiyah. Dan tiada
seorangpun yang menduga, bahkan Nana sendiri pun tak menyangka bahwa di tahun
pertama Ia lulus dari tingkatan pesantren. Ia mendapatkan panggilan secara
khusus dari pihak Yayasan Pondok Pesantren tempat Ia belajar dulu. Ia diminta
untuk mengabdikan diri dengan mengajarkan ilmu yang Ia miliki, khususnya dalam
bidang Ilmu Nahwu. Kini Nana kecil yang dulu suka manja sekarang berubah
menjadi sosok Ustadzah yang cantik dan anggun. Dia bisa tetap menyambung
pendidikannya dengan kuliah, sekaligus mengabdikan dan mengamalkan ilmunya pada
pesantren yang telah membesarkan dirinya.
Fitrotun Nihlah, wanita kelahiran Lamongan, 05 Februari 1991 ini mengabdi sebagai seorang pendidik di sebuah
Madrasah Aliyah sebuah Pondok Pesantren di Pangean Maduran Lamongan. Ketertarikannya dalam dunia tulis
menulis baru muncul ketika Ia diamanati sebagai pengajar Mapel Bahasa Indonesia
tahun 2013. Sebagian besar tulisannya Ia tuangkan dalam bentuk puisi. fitrotunnihlah@gmail.com – 085 730 390 890
Tidak ada komentar:
Posting Komentar