Laman

Minggu, 24 Januari 2016

USTADZAH NANA



@fitnie05

Alhamdulillahi ladzi qod wafaqo         #          Lil ‘ilmi khoiro kholqihi wa littuqo
Hatta nahat qulubuhum linahwihi       #          Famin ‘adzimi sya’nihi lam tahwihi
Muqoddimah Imrithi itu adalah nadhom keramat bagi Septina. Gadis dewasa ini sekarang sukses menjadi guru Nahwu yang mahir di sebuah Pondok Pesantren. Bukan hal mudah untuk menjadi Ustdzah Nana -panggilan Septina- yang saat ini selalu tersenyum ramah.
Dulunya Ustadzah Nana hanyalah seorang gadis cilik yang manja. Sifat manjanya itu terkadang kelewat batas kepada sang Ayah. Namun sang Ayah tak pernah merasa direpotkan sama sekali dengan sifat manja putrinya tersebut.
Justru Ayahnya semakin sayang kepadanya. Sampai akhirnya ketika lulus SD Nana kecil diboyong Ayahnya ke sebuah pesantren.
Bulan pertama, bulan ke dua, sampai bulan ke lima sulit bagi gadis berkulit putih bersih itu untuk betah tinggal di pesantren dengan teman-teman barunya. Hampir setiap sore Ayahnya menjenguk ke pesantren. Beruntung rumah mereka tidak jauh dari pesantren, hanya sekitar 1 Km. Jika sang Ayah tidak datang sore itu, bisa jadi Ia akan berdiri seperti satpam di depan gerbang pesantren yang menunggu kedatangan tamu agung. Sampai saat sore itu, Kamis 21 Desember 2006 sang Ayah harus benar-benar melapangkan dada untuk pamit meninggalkan Nana kecil ke perantauan sebab di sanalah ladang rizkinya. Nana yang manja tentunya tak bisa merelakan begitu saja. Namun, sang Ayah berhasil meyakinkan putri kesayangannya itu. Sebab rasa sayang yang begitu besar, Nana berjanji tidak akan cengeng, akan belajar mandiri dan tidak akan mengganggu Ayahnya yang sedang bekerja untuknya. Dia juga berjanji akan giat belajar. Selain Nana, sang Ayah pun mengucap janji bahwa Ia tidak akan pernah telat untuk menelfon dan menanyakan kabarnya.
Matahari Jumat begitu cerah, tapi tidak untuk Nana. Pagi itu sang Ayah akan benar-benar pegi ke tempat yang lebih jauh darinya. Meninggalkannya hidup tanpa melihat wajah ayahnya di setiap sore. Meski bukan untuk selamanya, ini adalah kali pertama Ia ditinggal seorang yang paling Ia cintai. Sebenarnya Nana juga mencintai Ibunya, tapi sayangnya Ia lebih dekat dengan sang Ayah.
Dua tahun berlalu sang Ayah tak pernah pulang. Bagi Nana tak mengapa. Sebab dia masih terus bisa mendengar sauara lelaki kebanggannya itu. Lelaki yang sejak Nana masih kecil dia terus ada di sampingnya. Memberikan apa yang Nana mau. Membantu apa yang menjadi kesulitan Nana. Dengan begitu ia selalu tahu bahwa beliau sehat. Ayahnya sempat menceritakan kenapa dirinya tak bisa pulang. Itu semua sebab keadaan ekonomi yang pas-pas-an untuk biaya hidup di perantauan dan uang sekolah Nana. Nana sangat memahami sekali, ia telah berubah menjadi gadis yang penuh pengertian dan mandiri. Semenjak ditinggal Ayahnya dia mulai mengatur sendiri urusan keuangan yang dia perlukan di pesantren. Ketika Ayahnya mengirimkan uang padanya secara rutin setiap bulan, dia hanya akan menggunakan uang itu membayar biaya bulanan pesantren, lalu mengambil secukupnya untuk jajan satu bulan, dan seebihnya akan dia tabung di wali kelasnya.
Di tahun ketiga, ketika Nana menginjakkan kakinya dan duduk di bangku kelas IX MTs -setingkat SMP- Nana sempat menelfon Ayahnya memohon dengan sangat kalau beliau bisa hadir di acara Khotmul Imrithi yang akan ia gelar di rumah dengan mengundang teman-teman dan guru-gurunya. Sebab hafalan Imrithi itu bagi Nana adalah kado yang ingin ia persembahkan untuk Ayahnya sebagai hadiah dan bukti bahwa Nana sekarang berbeda dengan Nana yang manja dan malas seperti dulu. Dan kabar gembiranya, sang Ayah mengabulkan. Beliau akan sudah berada di rumah sesuai dengan hari yang Nana minta yakni Minggu, 21 Desember 2009.
Kegembiraan Nana terus disalurkan dengan semakin giatnya Ia memperlancar dan memperkuat hafalannya. Ia ingin kado ini menjadi kado istimewa dan terbaik. Beruntung para ustadz dan ustadzahnya dengan senang hati membantu menyimak hafalan Nana.
Siang itu, Kamis 18 Desember 2008 Nana mendapat telfon, bahwa Ayahnya akan pulang dan akan sampai rumah besok pagi. Meskipun dia tidak bisa pulang sebab dia tinggal di pesantren, namun dia sangat bahagia sebab Ayahnya menepati janjinya saat itu. Hingga hari Minggu pagi Ia dijemput sang Kakak untuk pulang. Dia mengira bahwa ajakan pulang pagi itu sebab dia harus membantu keluarganya untuk mempersiapkan acara sore nanti. Ternyata sejak kedatangannya hari Jum’at lalu sang Ayah jatuh sakit, dan pagi itu harus dilarikan ke Rumah Sakit. Sebab kondisi sang Ayah yang kritis itulah Nana dijemput. Betapa kagetnya Nana dengan kondisi seperti ini. Selama ini dia tidak pernah tahu bahwa penyakit kadar gula yang tinggi, lambung, dan liver yang menjadi satu bersarang pada tubuh Ayahnya. Acara Khotmul Imrithi Minggu sore seketika dibatalkan dan di tunda hingga waktu yang belum pasti.
Hari pertama di Rumah Sakit Nana terus menggenggam tangan Ayahnya, tak rela digantikan siapapun. Hanya sesekali ia meninggalkan beliau ketika waktu sholat tiba. Saat-saat menjaga itu pula ia tak berhenti berdo’a dan sesekali menahan tangis sambil terus mengingat hafalan Imrithinya.
Hari kedua perawatan sang Ayah, Nana tak bisa menjaganya. Ia harus kembali ke pesantren. Hari itu dan satu minggu ke depan Ia harus mengikuti rentetan kegiatan Ujian Akhir Kelas IX tingkat MTs. Nana tak tenang dengan keadaan ini. Tapi biar bagaimanapun Ia harus bisa konsentrasi dalam ujiannya.
Satu minggu berlalu, ada jeda libur 1 hari sebelum diadakannya Try Out bersama se-Kabupaten. Nana meminta izin pada pengurus pesantren untuk menjenguk Ayahnya. Selama di Rumah Sakit seperti hari pertama, Ia tak melepaskan diri sedetik pun dari sisi Ayahnya, kecuali saat hendak Sholat. Berbeda dengan kondisi Ayahnya saat hari pertama kali dirawat, hari itu sang Ayah telah membaik perkembangannya.
Nana bercerita banyak tentang kehidupannya di pesantren yang ditanggapi dengan tersenyum dan sesekali terkekeh oleh sang Ayah. Nana bercerita bahwa sejak Ayah pergi mencari nafkah, Ia telah berubah menjadi pribadi yang mandiri dan tak pernah cengeng. Tapi yang tak pernah bisa Ia rubah adalah ketakutannya jika harus kehilangan Ayahnya.
Sang Ayah pun tersenyum dan memberi nasihat bijak padanya dengan suara yang masih parau dan lemah bahwa siapapun orangnya yang berasal dari Allah, suatu saat pasti akan kembali padaNya. Entah kapan waktunya, Allahu A’lam, hanya Allah yang Maha Tahu. Ayahnya pun mengutarakan alasan utamanya kenapa beliau sangat ngotot untuk menitipkan putri kesayangannya itu di pesantren.
“Nana sayang, Ayah bukan tak ingin hidup bersama Nana. Bukan Ayah tak suka Nana ikut Ayah kemanapun Ayah pergi. Tapi sungguh Ayah ingin Nana belajar ilmu agama dengan sungguh-sungguh. Dan bagi Ayah itu hanya akan didapatkan di pesantren. Ayah tak pernah ingin dengan sekedar sekolah kemudian jadi pintar, Nana membahagiakan Ayah dengan segala yang Ayah butuhkan, dengan memberi semua materi duniawi, Ayah tak ingin itu semua nak. Yang Ayah butuhkan hanya ketika Ayah kembali kepada Allah, ketika Ayah sudah tak mampu lagi untuk beribadah, dan ketika Ayah tak diizinkan lagi untuk berdo’a, ada Nana yang selalu mengirimkan do’a kepada Ayah. Ada Nana yang selalu meniatkan belajar, pengamalan ilmu dan ibadahnya untuk menolong orang tua. Cukup itu nak. Pesan Ayah, jangan pernah Nana terlihat sedih yang berlebihan oleh siapapun, sesedih apapun keadaan Nana. Tapi ajaklah semua orang untuk berbahagia, ketika kebahagian Nana peroleh. Cukup pada Allah Nana mencurahkannya dan menangis,” kata-kata itulah yang terus terngiang ditelinga Nana, ketika ayahnya berpesan kepada Nana dan tak seorang pun berada di ruangan itu.
Pesantren Nana yang tidak mengizinkan santrinya untuk membajak sekolahnya dengan pulang pergi dari rumah, membuat Nana harus rela berpisah lagi dengan Ayahnya untuk mengikuti Try Out nya. Namun ada kabar bahagia bahwa di hari pertamanya Try Out, sang Ayah sudah diizinkan untuk pulang dari Rumah Sakit. Nana bisa melaksanakan ujiannya dengan tenang. Nana segera memohon izin pada keluarga untuk melaksanakan acara Khotmul Imrithinya sesegera mungkin sekaligus syukuran atas kesehatan Ayah yang membaik.
Sengguh hidup dan mati seseorang hanyalah Allah yang tau. Pagi hari, di saat semua siswa kelas IX bersiap berangkat ke sekolah untuk menempuh hari terakhir Ujian Try Out, Nana di jemput oleh kakaknya, ia harus pulang saat itu juga. Tanpa berkata apapun sang Kakak langsung menuju kantor, mengizinkan Nana dan segera mengajaknya pulang. Nana yang merasakan hal aneh tak berani bertanya apapun. Ia terlalu takut mendapat jawaban buruk dari kakaknya. Benar saja, di ujung jalan Nana melihat banyak kerumunan orang di depan rumahnya, ia melihat bendera warna kuning di sematkan pada pohon di samping rumahnya. Di sebelah kirinya ada beberapa orang sedang menyiapkan air dan alat-alat pemandian. Ia sempat memandang kakaknya yang tiada berani melihat diri Nana. Bagi Nana percuma bertanya. Rasa penasaran dan tak enak dalam hatinya membuat dia segera berlari memasuki rumah, dan betapa lututnya lunglai tak mampu menahan raganya, sosok yang amat Ia cintai terbujur kaku dengan berselimut kain putih dan mata terpejam. Lelaki yang kini terpejam dengan wajah yang bersih dan senyum tipis yang nampak itu dikelilingi orang-orang yang membaca yasin dan sesekali menyeka air mata di hadapannya.
Nana tak berdaya, dia menghampiri sosok itu dengan berjalan ngesot tak mampu berdiri. Ia memegang lembut tangannya, mencium punggung tangan yang terasa dingin. Lalu ia beranjak dan mencium pipi serta kening sosok itu dengan terlebih dahulu menghapus air matanya. Ia tak ingin air matanya menjadikan beban kepergian sosok yang amat ia cintai. Ia tak ingin terlihat menangis di hadapan jasad yang tak bernyawa ini. Ia harus menepati janji dan wasiat terakhir Ayahnya. Nana mulai menata hati, mengikhlaskan apa yang telah terjadi. Ia tak ingin berlebihan menampakkan sedihnya.
Satu per satu pelayat memeluk dan menabahkan hati Nana dan keluarganya. Jika dibandingkan dengan Kakak dan Ibunya, Nana lah yang nampak lebih tabah dan tegar. Ibunya terlihat berkali-kali jatuh pingsan setiap kali menangis dan meratap. Sedang kakanya memilih menangis dan menyendiri di kamarnya. Sebab Nana tahu apa yang diinginkan sang Ayah darinya.
Masuk ke rumah Nana seorang sepuh dan terhormat dari pesantren, Ibu Nyai. Beliau memeluk dan membisikkan hal-hal tentang ketabahan pada Nana, Nana tersenyum dan kembali memeluk sang Nyai dengan berbisik, “Bunda,” begitu Nana memanggil beliau, “Nana tidak apa-apa, Nana Ikhlas, do’akan saja Ayah tenang, diterima amalnya dan diampuni dosa-dosanya.” Kata-kata itulah yang selau Nana ucapkan mengiringi senyum ketabahan setiap kali para pelayat, sanak saudara dan teman-temannya memeluk dan memandang iba padanya.
Tepat hari ke tujuh setelah kepergian sang Ayah, Nana mengadakan acara Khotmul Imrithi di rumahnya, dengan mengundang Romoh Kiyai dan Bu Nyai, Asatidz Asatidzah, dan teman-temannya. Tetap ia persembahkan kado itu untuk sang Ayah yang telah tenang di sisi Allah, acara itu sekaligus untuk kirim do’a bersama kepada almarhum Ayahnya.
Sebelum Nana kembali ke pesantren, Nana menyempatkan pamit ke makam sang Ayah. Ia mengucapkan janji bahwa akan terus menghafal Imrithi, dan akan terus ia kado kan untuk Ayahnya. Ia juga berjanji akan melanjutkan pada tingkatan Nahwu yang selanjutnya, yaitu Alfiyah Ibnu Malik. Janji itu pun terucap lagi, Ia akan terus menjaga Ibu dan Kakaknya, Ia akan terus tersenyum dan hanya kepada Allah ia mengadu dan mengeluh.
Dalam dunia pesantren setiap tingkah kita akan sangat dikenali oleh sekeliling kita. Nana tak ingin kesedihan atas kehilangan orang yang menjadi kebanggan hidupnya di ketahui oleh orang lain, bahkan sampai dikasihani. Ia merubah pola hidup dan pola belajarnya. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar dan menghafal. Tapi meski begitu, Ia tak pernah menjauhkan diri dari teman-temannya. Sesekali ia masih bercanda dan bermain bersama teman-temannya. Ia berubah menjadi semakin ramah. Semua itu semata untuk menghapus sedih dan rindu dihatinya.
Hari kelulusan bagi Nana. Nana yang masih sering di landa rindu pada sosok yang hari itu tak bisa menghadiri acara Akhirussanah-nya tak pernah menyangka bahwa ia akan mendapatkan nilai terbaik. Dan itu berarti secara otomatis mambawa namanya untuk dicantumkan dalam deretan nama-nama yang terdaftar di kelas unggulan tingkat Madrasah Aliyah. Di kelas itulah Nana akan mempelajari kedalaman Ilmu Nahwu Alfiyah Ibnu Malik.
Semakin tahun, semakin baik prestasi yang di sandang Nana. Ia terus belajar dan menghafal. Tiga tahun di tingkat Madrasah Aliyah (MA) tak ia rasakan. Hari itu tepat di akhir tahun pelajaran 2012, Akhirissanah terbesar dan termegah menjadi saksi pengukuhan kelulusan Nana dan teman-temannya. Nama Nana terpanggil lagi sebagai lulusan terbaik Pondok Pesantren. Dia maju dan naik ke podium untuk memberikan pidatonya.
Tak banyak yang Nana katakan, dalam pidatonya ia berkata:
“Saya bisa berdiri di sini atas doa dari kedua orang tua saya dan kakak saya tercinta, serta atas bimbingan dari semua Asatidz dan Asatidzah. Saya benar-benar berterima kasih. Tiga tahun silam saya juga diminta untuk berpidato seperti ini ketika menerima penghargaan terbaik di tingkat MTs, tapi saya tak bisa berkata apa-apa. Bagi saya saat itu rindu pada sosok Ayah yang meninggalkan saya ketika saya sedang butuh dukungan penuh darinya adalah pukulan yang luar biasa. Walaupun saat itu saya sudah berusaha mengikhlaskan semuanya tapi masih terlalu berat bagi saya untuk berkata-kata di depan umum. Tapi setelah itu saya selalu mengingat pesan Ayah sebelum beliau meninggal kepada saya, bahwa beliau tidak hanya butuh anak yang pandai lalu kaya dan berlimpah harta, tapi beliau butuh anak yang bisa mendoakan beliau saat meninggal, itulah sebabnya saya dipesantrenkan. Pesan beliau yang terakhir, tak pernah boleh saya melihatkan kesedihan saya pada siapapun sesedih apapun keadaan saya, kecuali kepada Allah. Itulah sebabnya kala rindu pada sosok Ayah menjelma, saya selalu jadikan itu sebuah motivasi penyemangat belajar. Bagi saya hanya dengan itu saya bisa menunjukkan bakti saya dan cinta saya padanya. Dan hari ini saya mendapatkan wujud dan manisnya buah ketabahan dan kebesaran hati menerima apapun yang sudah menjadi kehendak-Nya. Terima Kasih Ayah, Terima Kasih Pesantrenku.”
Usai prosesi kelulusan itu, tak menunggu lama. Nana langsung mendaftarkan diri untuk kuliah di Fakultas Tarbiyah. Dan tiada seorangpun yang menduga, bahkan Nana sendiri pun tak menyangka bahwa di tahun pertama Ia lulus dari tingkatan pesantren. Ia mendapatkan panggilan secara khusus dari pihak Yayasan Pondok Pesantren tempat Ia belajar dulu. Ia diminta untuk mengabdikan diri dengan mengajarkan ilmu yang Ia miliki, khususnya dalam bidang Ilmu Nahwu. Kini Nana kecil yang dulu suka manja sekarang berubah menjadi sosok Ustadzah yang cantik dan anggun. Dia bisa tetap menyambung pendidikannya dengan kuliah, sekaligus mengabdikan dan mengamalkan ilmunya pada pesantren yang telah membesarkan dirinya.


Fitrotun Nihlah, wanita kelahiran Lamongan, 05 Februari 1991 ini mengabdi sebagai seorang pendidik di sebuah Madrasah Aliyah sebuah Pondok Pesantren di Pangean Maduran Lamongan. Ketertarikannya dalam dunia tulis menulis baru muncul ketika Ia diamanati sebagai pengajar Mapel Bahasa Indonesia tahun 2013. Sebagian besar tulisannya Ia tuangkan dalam bentuk puisi.  fitrotunnihlah@gmail.com – 085 730 390 890



Tidak ada komentar:

Posting Komentar