Laman

Jumat, 15 Januari 2016

RINDU (SARI BUKU)



Judul               : RINDU
Penulis             : Tere Liye
Penerbit           : Republika, 2014
Halaman          : ii + 544 hlm

Benarlah kata orang, doa adalah sumber kekuatan yang tidak terbayangkan. (Hal. 19)

“.... Kau masih muda. Perjalanan hidupmu boleh jadi jauh sekali, Nak. Hari demi hari, hanyalah pemberhentian kecil. Bulan demi  bulan, itu pun sekadar pelabukan sedang. Pun tahun demi tahun, mungkin itu bisa kita sebut dermaga transit besar. Tapi itu semua sifatnya adalah pemberhentian. Dengan segera kapal kita berangkat kembali, menuju tujuan yang paling hakiki.” (Hal. 284)

“... kalau kau berusaha lari dari kenyataan itu, kau hanya menyulitkan diri sendiri. Ketahuilah, semakin keras kau berusaha lari, maka semakin kuat cengkeramannya. Semakin kencang kau berteriak melawan, maka semakin kencang pula gemanya memantul, memantul, dan memantul lagi memenuhi kepala.” (Hal. 312)

“Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu. Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian hidup kita. Peluk semua kisah itu. Berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara terbaik mengatasinya. Dengan kau menerimanya, perlahan-lahan, dia akan memudar sendiri. Disiram oleh waktu, dipoles oleh kenangan baru yang lebih bahagia.” (Hal. 312)

“Maka ketahuilah, Nak, saat kita tertawa, hanya kitalah yeng tahu persis apakah tawa itu bahagia atau tidak. Boleh jadi, kita sedang tertawa dalam seluruh kesedihan. Orang lain hanya melihat wajah. Saat kita menangis pun sama, hanya kita yang tahu persis apakah tangisan itu sedih atau tidak. Boleh jadi kita sedang menangis dalam seluruh kebahagiaan. Orang lain hanya melihat luar. Maka, tidak relevan penilaian orang lain.” (Hal. 313)

Hidup ini akan rumit sekali jika kita sibuk membahas hal yang seandainya begini, seandainya begitu. (Hal. 331)

Nasib kadang bisa ditentukan oleh sesuatu yang tipis sekali. Bahkan bisa setipis kertas yang terjatuh... (Hal. 357)

“Ketahuilah, kita sebenarnya sedang membenci diri sendiri saat membenci orang lain. Ketika ada orang jahat, membuat kerusakan di muka bumi, misalnya, apakah Allah langsung mengirimkan petir untuk menyambar orang itu? Nyatanya tidak. Bahkan dalam beberapa kasus, orang-orang itu diberikan begitu banyak kemudahan, jalan hidupnya terbuka lebar. Kenapa Allah tidak langsung menghukumnya? Kenapa Allah menangguhykannya? Itu hak mutlak Allah. Karena keadilan Allah selalu mengambil bentuk terbaiknya, yang kita tidak selalu paham.” (Hal. 373)

“Ketahuilah, Nak, saat kita memutuskan memaafkan seseorang, itu bukan persoalan apakah orang itu salah, dan kita benar. Apakah orang itu memang jahat atau aniaya. Bukan! Kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas kedamaian dalam hati.” (Hal. 374)

Kesalahan itu ibarat halaman kosong. Tiba-tiba ada yang mencoretnya dengan keliru. Kita bisa memaafkannya dengan mengahapus tulisan tersebut., baik dengan penghapus biasa, dengan penghapus canggih, dengan apa pun. Tapi tetap tersisa bekasnya. Tidak akan hilang. Agar semuanya benar-benar bersih, hanya satu jalan keluarnya, bukalah lembaran kertas baru yang benar-benar kosong. (Hal. 375)

Ada yang bilang melihat asma Allah di awan-awan. Ada bayi yang lahir bersama Alquran kecil, Ada yang bilang bayinya yang baru lahir bisa bicara –seperti Nabi Isa. Sebagian orang-orang yang tidak paham akan merubung, mendengar kisah itu. Hingga mereka lupa. Bahwa mukjizat paling besar dalam agama kita justru ada di lemari rumahnya, ada di meja-meja rumahnya. Dibiarkan berdebu tanpa pernah dibaca. (Hal. 394)

Setiap hari aku jatuh cinta. Setidaknya setiap melihat matahari terbit, aku jatuh cinta, mensyukuri hidupku. Setiap menatap matahari tenggelam, aku jatuh cinta, berterima kasih atas sepanjang hari, baik itu menyebalkan ataupun menyenangkan. (Hal. 400)

Takdir tidak pernah bertanya apa perasaan kita, apakah kita bahagia, apakah kita tidak suka. Takdir bahkan basa-basi menyapa pun tidak. Tidak peduli. Nah, kabar baiknya, karena kita tidak bisa mengendalikannya, bukan berarti kita jadi makhluk tidak berdaya. Kita tetap bisa mengendalikan diri sendiri bagaimana menyikapinya. Apakah bersedia menerimanya, atau mendustakannya. (Hal. 471)

Dalam situasi tertentu, sabar bahkan adalah penolong paling dahsyat. Tiada terkira. Dan shalat, itu juga penolong terbaik tiada tara. (Hal. 472)

“Lepaskanlah, Ambo. Maka esok lusa, jika dia cinta sejatimu, dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan. Ada saja takdir hebat yang tercipta untuk kita. Jika dia tidak kembali, maka sederhana jadinya, itu bukan cinta sejatimu. Hei, Ambo, kisah-kisah cinta di dalam buku itu, di dongeng-dongen cinta, atau hikayat orang tua, itu semua ada penulisnya. Tapi kisah cinta kau, siapa penulisnya? Allah. Penulisnya adalah pemilik cerita paling sempurna di muka bumi. tidakkah sedikit saja kau mau meyakini bahwa kisah kau pastilah yang terbaik yang dituliskan.” (Hal. 492)

Maka tidak mengapa kalau kau patah hati, tidak mengapa kalau kau kecewa, atau menangis tergugu karena harapan, keinginan memiliki, tapi jangan berlebihan. Jangan merusak diri sendiri. Selalu pahami, cinta yang baik selalu mengajari kau agar menjaga diri. Tidak melanggar batas, tidak melewati kaidah agama. (Hal. 493)

Wahai laut yang temaram, apalah arti memiliki? Ketika diri kami sendiri bukan milik kami.
Wahai laut yang lengang, apalah arti kehilangan? Ketika kami sebenarnya menemukan banyak kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saatv menemukan.
Wahai laut yang sunyi, apalah arti cinta? Ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin kami terduduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apa pun?
Wahai laut yang gelap, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja. (Hal. 494)

Menulis adalah salah satu cara terbaik menyebarkan pemahaman. Ketika kita bicara, hanya puluhan atau ratusan orang saja yang bisa mendengar. Kemudian hilang ditelan waktu. Tapi tulisan, buku-buku, bisa dibaca oleh lebih banyak lagi. (Hal. 501)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar