Laman

Sabtu, 08 Agustus 2015

RECTOVERSO (SARI BUKU)



Judul               : RECTOVERSO
Penulis             : Dee
Penerbit           : Goodfaith Production, Jakarta
Cetakan           : Kedua, Oktober 2008

“Aku ingin membisikkan selamat tidur, jangan bermimpi. Mimpi mengurangi kualitas istirahatnya. Da untuk bersamaku, ia tak perlu mimpi.” ~Curhat buat Sahabat (hal. 7)

“Sebotol mahal anggur putih ada di depan matamu, tapi kamu tak prnah tahu. Kamu terus menanti. Segelas air putih.” ~Curhat buat Sahabat (hal. 9)

“Mengubah rutinitas itu sama saja dengan menawar bumi agar berhenti mengedari matahari.” ~Malaikat Juga Tahu (hal. 16)

“Cinta adalah paket air mata, keringat, dan dedikasi untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi tempat yang indah dan masuk akal bagi seseorang. Bukan baginya. Cintanya tak punya cukup waktu untuk dirinya sendiri.” ~Malaikat juga Tahu (hal. 21)

“Pesan ini akan sampai padamu, entah dengan cara apa. Bahasa yang kuatahu kini hanyalah perasaan. Aku memandangimu tanpa perlu menatap. Aku mendengarmu tanpa perlu alat. Aku menemuimu tanpa perlu hadir. Aku mencintaimu tanpa perlu apa-apa, karena kini kumiliki segalanya.” ~Aku Ada (hal. 32)

“Perlahan kulihat awan mendung bergeser, menyeruakkan mentari yang kaucari. Dan kulihat engkau kian berseri. Senjamu kian sempurna. Dia, yang kaucinta, tampak berkilau disiram cahaya jingga.” ~Aku Ada (hal. 33)

“Aku masih ada. Meski mendapatkanmu seperti lawatan ke museum tempat segala keindahan dikurung etalase kaca hingga berlapis saat disentuh, aku tetap merasa utuh.” ~Aku Ada (hal. 35)

“Engkau tersenyum bersama segenap jiwamu, karena hari ini kita sama-sama mengetahui satu rahasia: cinta adalah aku, cinta adalah engkau, cinta adalah dia, dan cinta tan pernah mati.” ~Aku Ada (hal. 36)

“Ia hanya mengetahui apa yang ia sanggup miliki. Saya adalah orang yang paling bersedih, karena saya mengetahui apa yang tidak sanggup saya miliki.” ~Hanya Isyarat (hal. 47)

“Barangkali itulah mengapa kematian ada, aku menduga. Mengapa kita mengenal konsep berpisah dan bersua. Terkadang kita memang harus berpisah danbersua. Terkadang kita memang harus berpisah dengan diri kita sendiri; dengan proyeksi. Diri yang telah menjelma menjadi manusia yang kita cinta.” ~Peluk (hal. 54)

“Seseorang seharusnya memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya ercermin, bukan ketakuatannya akan sepi.” ~Peluk (hal. 56)

“Hati adalah air, aku lantas menyimpulkan. Baru mengalir jika menggulir dari tempat tinggi ke tempat lebih rendah. Ada gravitasi yang secara alamiah menggiringnya. Dan jika peristiwa jatuh hati diumpamakan air terjun, maka bersamamu aku sudah merasakan terjun, jumpalitan, lompat indah. Berkali-kali. Namun kanal hidup membawa aliran itu ke sebuah tempat datar, dan hatiku berhenti mengalir.” ~Peluk (hal 56)

“Jadi, aku tidak tahu cinta itu terdiri dari berapa macam. Yang kutahu, cinta ini tersendat, dan hatiku seperti mau mati pengap. Kendati kusayang kamu lebih dari siapa pun yang kutahu. Kendati bersamamu senyaman berselimut pada saat hujan. Aku aman. Namun aku mengerontang kekeringan. Dan kini kutersadar, aku butuh hujan itu. Lebih dari apa pun.” ~Peluk (hal. 57)

“Rasakan semua, demikian pinta sang hati. Amarah atau asmara, kasih atau pedih, segalanya indah jika memang tepat pada waktunya. Dan inilah hatiku, pada dini hari yang hening. Bening. Apa adanya.” ~Peluk (hal. 58)

“Lalu... kalau saya tidak suka dengan yang dikatakan firasat sya, lantas apa?”
“Kamu hanya perlu menerima. Ketika belum terjadi, terima firasatnya. Ketika sudah terjadi, terima kejadiannya. Menolak, menyangkal, Cuma bikin kamu lelah.”
~Firasat (hal. 98)

“Terpaksa aku mengangguk. Terpaksa, semua baik-baik saja. Kusapukan mata melihat sekeliling. Dunia yang berjalan normal. Hidup yang bergulir seperti biasa. Semua yang harus baik-baik saja.” ~Firasat (hal. 100)

“... lalu, untuk apa? Untuk apa diberi pertanda jika ternyata tak bisa mengubah apa-apa?” ~Firasat (hal. 102)

“Kadang-kadang pilihan yang terbaik adalah menerima. . .” ~Firasat (hal. 108)

“Tak akan ada yang mengerti betapa menyesakkan ini semua. Aku merindu hingga gagu. Aku mendamba hingga kehilangan daya.” ~Tidur (hal. 130)

“Tidurlah yang tenang, bisikku tanpa suara. Aku akan ada saat mata kalian membuka. Selalu ada. Esok, lusa dan seterusnya.” ~Tidur (hal. 131)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar