Laman

Sabtu, 25 Januari 2014

BIDADARI PENYAPU EMBUN



Tiga tahun silam, terakhir aku bediri di sini. Teras yang bersih menghadap ke jalan. Teras ini tak lain beranda di depan rumahku di lantai dua. Dulu aku selalu suka bila berada dan duduk santai di tempat ini. Bahkan sampai saat ini. Di sini aku mampu melihat semuanya, hal-hal yang ada di keramaian jalan depan rumahku.
Dan pagi ini, setelah sekian lama aku tak pernah menginjakkan kakiku di sini, aku kembali berdiri, masih seorang diri. Mengingat ulang hal yang pernah terjadi.

Aku melihat seorang gadis anggun berjilbab ungu muda menghampiri seorang nenek tua
yang sejak tadi berdiri di tepi jalan. Sepertinya keduanya memang sudah saling mengenal. Hari itu masih terlalu pagi untuk beraktifitas, bahkan mentari masih tengah terlelap dan masih enggan untuk menggeliat membangunkan alam raya. Tapi aku sudah disuguhi pemandangan yang bagiku tabu di pagi yang masih segelap ini.
Aku memang tak mampu mendengar percakapan mereka. Tapi dari yang ku lihat sepertinya gadis itu mengajak sang nenek ke suatu tempat. Anggukan kecil yang diberikan oleh nenek itu mengantarkan langkah dua wanita itu menuju ke satu arah, entah kemana yang hendak mereka tuju, yang pasti arah itu arah barat.
Aku tak pernah mengerti, bahkan aku tak pernah tahu siapa gadis itu. Aku memang penduduk asli desa Cempaka ini. Tapi aku tak pernah tau sebelumnya ada gadis seusia gadis itu yang setiap pukul 03.00 dini hari selalu tepat waktu menghampiri Nenek Suni, berbincang sebentar lalu pergi. Sekali lagi entah ke mana.
Keberadaan gadis berjilbab ungu muda pagi itu bukanlah yang pertama kali. Itu sudah hampir 1 bulan sejak aku mempunyai kebiasaan baru setiap usai munajatku di sepertiga malam. Aku pun tak bisa memastikan bahwa sebelum aku memiliki kebiasaan untuk berdiri di depan pagar teras rumah setiap usai qiyamul lail, dia belum pernah melakukannya atau bahkan sudah setiap harinya seperti itu.
Tepat di hari ke tiga puluh aku melihatnya lagi. Masih dari teras lantai dua rumahku. Kali ini aku melihatnya berbeda. Dia tersenyum padaku. Ternyata dia menyadari keberadaanku.
“Dia berbeda, nampak lebih anggun dibanding biasanya.” Aku menggumam sendiri, bahkan telingaku pun hampir tak mendengarnya.
“Tapi aneh, siapa sebenarnya gadis ini? Kenapa hanya bisa ku temui ia di pagi buta seperti ini? Kemana ia jika terang datang?” Aku masih terus berfikir.
Fikiranku berhenti seketika, ketika aku melihat ketegangan diantara keduanya. Seperti ada rasa tak rela jika salah satunya harus berpisah. Yang aku tahu dari mereka adalah tidak ada ikatan darah apapun. Tapi entah kenapa mereka selalu bertemu tepat di ujung jalan depan rumahku. Aku semakin penasaran, ada apa diantara mereka. Selama ini aku memperhatikan mereka, tak pernah aku melihat keduanya sesedih ini. Bahkan kerap kali aku melihat kebahagiaan diantara keduanya jika waktu itu tiba, tepat pukul 03.00 dini hari.
Lantas dalam bahagia itu mereka sering berjalan berdua ke arah barat lagi. Setahuku arah barat itu tidak ada tempat yang menarik, kecuali masjid dan jika ditarik garis lurus ke barat lagi sekitar 15 meter ada kuburan di sana. Aku masih memendam tanda tanya besar.
***
Hari ke tiga puluh satu aku memperhatikan dua wanita yang selalu bertemu di ujung jalan depan rumahku. Kali ini aku sedikit terheran, Nenek Suni berdiri sendirian. Waktu subuh sudah semakin dekat, tapi Nek Suni nampak masih menunggu seseorang. Aku tahu betul, siapa yang beliau tunggu.
“Pasti Nek Suni sedang menunggu gadis itu, gadis penyapu embun.” Aku menggumam sendiri. Menerka-nerka bahwa kedatangan gadis anggun dengan langkah kearifan menyapu bening embun di setiap pagi itu sedang ditunggu oleh nenek yang mulai berusia senja ini.
Tak butuh waktu lama, aku yang mulai didorong rasa penasaran terhadap pemandangan yang selalu ku perhatikan selama sebulan ini pun sudah berdiri tepat berada di samping Nek Suni.
“Assalamualaiku… nenek sedang apa?”  sapaku sesantun mungkin.
“Wa’alaikum salam… ka… kamu si..aa..pa?” jawab nenek yang tetap nampak cantik di usianya yang senja sambil sedikit tergagap sebab kaget ketika menyadari kedatanganku.
“Aku Widad nek. Nenek sedang apa?” aku pura-pura tidak tahu apa yang sedang dilakukannya.
“Ohh… Shofwil Widad, maaf nenek tadi kaget sampai-sampai tidak mengenalimu. Tidak, nenek mau ke masjid tapi sepertinya masih ada yang kurang, jadi nenek masih belum ingin beranjak sedari tadi”
Aku tahu sekarang, kemana tujuan Nek Suni setiap pukul 03.00 Wib. Aku sedikit kaget dengan cara Nek Suni memanggil namaku secara lengkap dan benar. Kebanyakan para orang tua memanggilku dengan kurang tepat. Ada yang memanggil Sowildad, ada juga yang memanggil Sopil Widad. Ah wajar, lidah mereka mulai keluh mungkin, seiring usia yang semakin bertambah.
“Maaf nek, apa nenek sedang menunggu seseorang?”
“Seseorang? Apa maksudmu Cu?”
“Maaf nek, apa nenek sedang menunggu gadis anggun berjilbab ungu muda, gadis penyapu embun yang selalu datang di pagi buta dan menemani langkah nenek?”
“Gadis anggun? Gadis berjilbab ungu muda? Gadis penyapu embun? Nenek sama sekali tidak faham dengan yang kau ucapkan. Nenek tidak sedang menunggu seseorang. Nenek hanya sedang menunggu … menunggu … entah apa yang nenek tunggu. Nenek hanya menunggu sesuatu. Sesuatu yang datang dan menemani langkah nenek ke masjid, tapi nenek sendiri tidak bisa menyadari sesuatu itu apa.” Nenek ini menjawab dengan nada yang semakin lama semakin melemah.
Aku tersentak kaget dengan pernyataan Nek Suni. Bagaimana mungkin beliau tidak tahu apa yang sedang beliau tunggu. Sedangkan dengan jelas kuperhatikan, gadis itu selalu menghampirinya dan menemani langkahnya dengan pasti. Aku benar-benar bingung.
“Lalu? Gadis itu?” aku masih mencoba bertanya pada beliau.
“Lalu apa lagi nak Widad? Nenek benar-benar tidak faham dengan pertanyaanmu. Nenek tidak faham dengan gadis yang kau maksud. Nenek memang selalu menunggu di sini. Tapi tidak menunggu seseorang seperti yang kau maksud. Nenek menunggu sesuatu semacam rasa damai yang tiba-tiba saja datang kemudian serasa menemani langkah nenek ke masjid itu.” Nenek Suni masih menjawab pertanyaanku dengan santun, meski aku bisa menangkap kebingungan yang beliau alami.
“Sudahlah nak Widad, jangan Nampak bingung begitu. Nenek semakin bingung melihatmu seperti itu. Lebih baik kau segera bersiap, sebentar lagi adzan subuh berkumandang. Nenek ingin langsung ke masjid saja. Mungkin memang hal yang nenek tunggu tidak akan pernah datang. Tapi hal tersebut sudah membiasakan nenek untuk selalu melangkahkan kaki ini ke rumah-Nya.”
Senyum Nek Suni yang masih mengembang. Menjadikan keriput di ujung matanya semakin nampak seiring matanya yang menyipit sebab senyumnya yang melebar. Kalimat terakhirnya dibarengi dengan menepuk-nepuk pundakku lantas meninggalkanku yang masih dalam kebingungan.
Allahhu Akbar… Allahu Akbar…
Aku yang sedari tadi masih membisu dalam kebingungan di tepi jalan tersadar bahwa adzan shubuh telah memanggil. Segera aku berlari ke rumahku dan menutup pintu yang sedari tadi terbuka saat aku menghampiri Nek Suni sebelum akhirnya aku memenuhi panggilan-Nya ke kediaman yang penuh kedamaian di arah barat dari rumahku. Arah yang selalu dituju Nek Suni dengan gadis itu.
***
Subhanallah… Maha Suci Engkau Ya Allah. Yang Maha tahu tentang segala hal. Sesungguhnya apa yang sudah ku lihat selama ini? Kenapa justru Nenek Suni tidak melihat hal itu? Kenapa Nenek Suni tidak menyadari kehadiran gadis itu? Siapa gadis itu? Apa yang selalu ia lakukan terhadap Nek Suni selama ini?” Ribuan pertanyaan menggelayut dalam pikiranku. Aku semakin bingung. Kutenggelamkan wajahku dalam kedua telapak tanganku berharap aku tahu tentang apa yang sudah ku lihat selama ini.
Assalamualaikum” Tiba-tiba suara salam diiringi sentuhan tangan menyentuh pundaku menyadarkan diriku.
Wa’alaikum salam… Ada apa pak?”
Orang yang ku tanya ini hanya tersenyum dan memberi isyarat agar aku mengikutinya. Aku pun mengikuti langkahnya. Kami duduk di serambi masjid.
“Ada apa bapak mengajak saya kemari? Apa saya kenal bapak? Atau mungkin ada hal lain yang ingin bapak katakan kepada saya?” tanyaku bertubi-tubi kepada bapak ini.
“Tidak enak ngobrol di dalam masjid. Oleh karena itu aku mengajakmu ke serambi masjid ini. Bapak tahu apa yang tengah merisaukanmu dan apa yang membuatmu bingung.”
Aku hanya menatapnya dengan penuh keheranan. Bagaimana mungkin dia tahu, sedangkan aku tak pernah bercerita kepadanya. Bahkan aku tak mengenalnya.
“Gadis itu bernama Nila.” Dia memulai ceritanya.
“Gadis?” jawabku setengah terkaget.
“Dia seorang gadis yang arif, yang selalu sayang dengan neneknya. Orang tua Nila menitipkannya pada Nenek Suni. Mereka tergolong dua wanita yang rajin menghuni masjid ini, setiap waktu.”
“Maksud bapak gadis itu gadis berkerudung ungu muda?”
“Iya”
“Gadis yang selalu ku lihat di ujung jalan di sepertiga malam?”
“Iya”
“Lalu, kalau itu Nila cucu Nenek Suni, kenapa Nenek Suni tidak tahu saat aku bertanya siapa yang selalu menemuinya setiap pagi itu?”
“Nenek Suni memang tidak melihatnya.”
“Maksud bapak?”
“Tiga tahun yang lalu musibah menimpa keluarga Nenek Suni. Cucu satu-satunya, Nila tanpa diketahui menghilang. Tak ada yang tahu dia kemana. Setelah tujuh hari berlalu dia kembali pulang. Tapi sayangnya Nila pulang dalam keadaan tidak bernyawa. Tidak ada yang tahu dia hilang kemana? Dia meninggal sebab apa? Bahkan siapa yang mengantarnya pulang? Dia tiba-tiba sudah terbaring di depan pintu rumah dalam keadaan tak bernyawa saat Nenek Suni hendak pergi ke masjid tepat pukul 03.00 dini hari.”
Bagai tersambar petir aku mendengarnya. Aku hanya tertegun dan kaget mendengar cerita bapak ini. Seolah tak percaya bahwa gadis itu telah tiada. Yang ku lihat selama ini ternyata arwah dari Nila.
“Jadi maksud bapak …” tak sanggup aku melanjutkan kata-kataku.
“Iya. Nila sudah meninggal. Yang kamu lihat adalah arwah Nila yang mungkin merindukan neneknya.”
“Tapi dia tersenyum padaku pak.”
Bapak ini tersenyum.
“Sebenarnya setiap pukul 03.00 dini hari dia selalu menghampiri neneknya di depan rumahmu. Tapi semenjak kamu mengetahui hal itu, dan kamu memperhatikannya, dia merasa tenang seolah telah menemukan siapa yang akan menemani neneknya setiap kali ia akan menjalankan sholat malamnya di masjid. Dan itu kamu. Itulah arti dari senyumannya. Dia berharap kamu bersedia menemani neneknya yang semakin renta.”
“Benarkah begitu pak?” tanyaku heran dan setengah tidak percaya.
Bapak ini hanya mengangguk mantap tanpa menjawab.
“Tapi bapak siapa? Kenapa bapak bisa tahu kalau aku memperhatikannya? Padahal aku tidak pernah melihat bapak.” Rasa bingung dalam hatiku tak dapat ku tahlukkan.
Sekali lagi, yang aku tanya hanya tersenyum. Lalu beranjak berdiri dan melangkah meninggalkanku yang tak mampu mencegahnya. Sambil berlalu dia menoleh kepadaku.
“Ingat nak, Nila percaya padamu. Temani Nenek Suni tiap harinya. Sebab Nila selalu mendapati kamu yang selalu istiqomah di waktu itu. Percayalah pada bapak.”
Bapak itu mengakhiri perkataannya dengan senyum meyakinkanku. Saat aku mengangkat wajahku usai menunduk untuk mencoba meyakinkan hatiku sendiri bapak itu sudah tidak ada, entah kemana.
***
Sejak saat itu, aku benar-benar tak pernah lagi melihat bidadari itu menyapu embun-embun pagi hari lagi. Sesuai dengan yang disampaikan oleh bapak itu tempo hari, aku mencoba mempercayainya. Dan aku selalu menemani Nenek Suni ke masjid setiap paginya. Mungkin memang ini yang diharapkan Nila padaku. Dan mungkin inilah makna dari senyumnya yang anggun kepadaku.

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar