Tiga tahun
silam, terakhir aku bediri di sini. Teras yang bersih menghadap ke jalan. Teras
ini tak lain beranda di depan rumahku di lantai dua. Dulu aku selalu suka bila berada
dan duduk santai di tempat ini. Bahkan sampai saat ini. Di sini aku mampu
melihat semuanya, hal-hal yang ada di keramaian jalan depan rumahku.
Dan pagi ini,
setelah sekian lama aku tak pernah menginjakkan kakiku di sini, aku kembali
berdiri, masih seorang diri. Mengingat ulang hal yang pernah terjadi.
Aku melihat
seorang gadis anggun berjilbab ungu muda menghampiri seorang nenek tua
yang sejak tadi berdiri di tepi jalan. Sepertinya keduanya memang sudah saling mengenal. Hari itu masih terlalu pagi untuk beraktifitas, bahkan mentari masih tengah terlelap dan masih enggan untuk menggeliat membangunkan alam raya. Tapi aku sudah disuguhi pemandangan yang bagiku tabu di pagi yang masih segelap ini.
yang sejak tadi berdiri di tepi jalan. Sepertinya keduanya memang sudah saling mengenal. Hari itu masih terlalu pagi untuk beraktifitas, bahkan mentari masih tengah terlelap dan masih enggan untuk menggeliat membangunkan alam raya. Tapi aku sudah disuguhi pemandangan yang bagiku tabu di pagi yang masih segelap ini.
Aku memang tak
mampu mendengar percakapan mereka. Tapi dari yang ku lihat sepertinya gadis itu
mengajak sang nenek ke suatu tempat. Anggukan kecil yang diberikan oleh nenek
itu mengantarkan langkah dua wanita itu menuju ke satu arah, entah kemana yang
hendak mereka tuju, yang pasti arah itu arah barat.
Aku tak pernah
mengerti, bahkan aku tak pernah tahu siapa gadis itu. Aku memang penduduk asli
desa Cempaka ini. Tapi aku tak pernah tau sebelumnya ada gadis seusia gadis itu
yang setiap pukul 03.00 dini hari selalu tepat waktu menghampiri Nenek Suni,
berbincang sebentar lalu pergi. Sekali lagi entah ke mana.
Keberadaan
gadis berjilbab ungu muda pagi itu bukanlah yang pertama kali. Itu sudah hampir
1 bulan sejak aku mempunyai kebiasaan baru setiap usai munajatku di sepertiga
malam. Aku pun tak bisa memastikan bahwa sebelum aku memiliki kebiasaan untuk
berdiri di depan pagar teras rumah setiap usai qiyamul lail, dia belum
pernah melakukannya atau bahkan sudah setiap harinya seperti itu.
Tepat di hari
ke tiga puluh aku melihatnya lagi. Masih dari teras lantai dua rumahku. Kali
ini aku melihatnya berbeda. Dia tersenyum padaku. Ternyata dia menyadari
keberadaanku.
“Dia berbeda,
nampak lebih anggun dibanding biasanya.” Aku menggumam sendiri, bahkan
telingaku pun hampir tak mendengarnya.
“Tapi aneh,
siapa sebenarnya gadis ini? Kenapa hanya bisa ku temui ia di pagi buta seperti
ini? Kemana ia jika terang datang?” Aku masih terus berfikir.
Fikiranku
berhenti seketika, ketika aku melihat ketegangan diantara keduanya. Seperti ada
rasa tak rela jika salah satunya harus berpisah. Yang aku tahu dari mereka
adalah tidak ada ikatan darah apapun. Tapi entah kenapa mereka selalu bertemu
tepat di ujung jalan depan rumahku. Aku semakin penasaran, ada apa diantara
mereka. Selama ini aku memperhatikan mereka, tak pernah aku melihat keduanya
sesedih ini. Bahkan kerap kali aku melihat kebahagiaan diantara keduanya jika
waktu itu tiba, tepat pukul 03.00 dini hari.
Lantas dalam
bahagia itu mereka sering berjalan berdua ke arah barat lagi. Setahuku arah
barat itu tidak ada tempat yang menarik, kecuali masjid dan jika ditarik garis
lurus ke barat lagi sekitar 15 meter ada kuburan di sana. Aku masih memendam
tanda tanya besar.
***
Hari ke tiga
puluh satu aku memperhatikan dua wanita yang selalu bertemu di ujung jalan
depan rumahku. Kali ini aku sedikit terheran, Nenek Suni berdiri sendirian.
Waktu subuh sudah semakin dekat, tapi Nek Suni nampak masih menunggu seseorang.
Aku tahu betul, siapa yang beliau tunggu.
“Pasti Nek Suni
sedang menunggu gadis itu, gadis penyapu embun.” Aku menggumam sendiri.
Menerka-nerka bahwa kedatangan gadis anggun dengan langkah kearifan menyapu
bening embun di setiap pagi itu sedang ditunggu oleh nenek yang mulai berusia
senja ini.
Tak butuh waktu
lama, aku yang mulai didorong rasa penasaran terhadap pemandangan yang selalu
ku perhatikan selama sebulan ini pun sudah berdiri tepat berada di samping Nek
Suni.
“Assalamualaiku…
nenek sedang apa?” sapaku sesantun
mungkin.
“Wa’alaikum
salam… ka… kamu si..aa..pa?” jawab nenek yang tetap nampak cantik di usianya
yang senja sambil sedikit tergagap sebab kaget ketika menyadari kedatanganku.
“Aku Widad nek.
Nenek sedang apa?” aku pura-pura tidak tahu apa yang sedang dilakukannya.
“Ohh… Shofwil
Widad, maaf nenek tadi kaget sampai-sampai tidak mengenalimu. Tidak, nenek mau
ke masjid tapi sepertinya masih ada yang kurang, jadi nenek masih belum ingin
beranjak sedari tadi”
Aku tahu sekarang,
kemana tujuan Nek Suni setiap pukul 03.00 Wib. Aku sedikit kaget dengan cara Nek
Suni memanggil namaku secara lengkap dan benar. Kebanyakan para orang tua
memanggilku dengan kurang tepat. Ada yang memanggil Sowildad, ada juga yang
memanggil Sopil Widad. Ah wajar, lidah mereka mulai keluh mungkin, seiring usia
yang semakin bertambah.
“Maaf nek, apa
nenek sedang menunggu seseorang?”
“Seseorang? Apa
maksudmu Cu?”
“Maaf nek, apa
nenek sedang menunggu gadis anggun berjilbab ungu muda, gadis penyapu embun yang
selalu datang di pagi buta dan menemani langkah nenek?”
“Gadis anggun?
Gadis berjilbab ungu muda? Gadis penyapu embun? Nenek sama sekali tidak faham
dengan yang kau ucapkan. Nenek tidak sedang menunggu seseorang. Nenek hanya
sedang menunggu … menunggu … entah apa yang nenek tunggu. Nenek hanya menunggu
sesuatu. Sesuatu yang datang dan menemani langkah nenek ke masjid, tapi nenek
sendiri tidak bisa menyadari sesuatu itu apa.” Nenek ini menjawab dengan nada
yang semakin lama semakin melemah.
Aku tersentak kaget
dengan pernyataan Nek Suni. Bagaimana mungkin beliau tidak tahu apa yang sedang
beliau tunggu. Sedangkan dengan jelas kuperhatikan, gadis itu selalu
menghampirinya dan menemani langkahnya dengan pasti. Aku benar-benar bingung.
“Lalu? Gadis
itu?” aku masih mencoba bertanya pada beliau.
“Lalu apa lagi
nak Widad? Nenek benar-benar tidak faham dengan pertanyaanmu. Nenek tidak faham
dengan gadis yang kau maksud. Nenek memang selalu menunggu di sini. Tapi tidak
menunggu seseorang seperti yang kau maksud. Nenek menunggu sesuatu semacam rasa
damai yang tiba-tiba saja datang kemudian serasa menemani langkah nenek ke
masjid itu.” Nenek Suni masih menjawab pertanyaanku dengan santun, meski aku
bisa menangkap kebingungan yang beliau alami.
“Sudahlah nak
Widad, jangan Nampak bingung begitu. Nenek semakin bingung melihatmu seperti
itu. Lebih baik kau segera bersiap, sebentar lagi adzan subuh berkumandang.
Nenek ingin langsung ke masjid saja. Mungkin memang hal yang nenek tunggu tidak
akan pernah datang. Tapi hal tersebut sudah membiasakan nenek untuk selalu
melangkahkan kaki ini ke rumah-Nya.”
Senyum Nek Suni
yang masih mengembang. Menjadikan keriput di ujung matanya semakin nampak seiring
matanya yang menyipit sebab senyumnya yang melebar. Kalimat terakhirnya dibarengi
dengan menepuk-nepuk pundakku lantas meninggalkanku yang masih dalam
kebingungan.
Allahhu
Akbar… Allahu Akbar…
Aku yang sedari
tadi masih membisu dalam kebingungan di tepi jalan tersadar bahwa adzan shubuh
telah memanggil. Segera aku berlari ke rumahku dan menutup pintu yang sedari
tadi terbuka saat aku menghampiri Nek Suni sebelum akhirnya aku memenuhi
panggilan-Nya ke kediaman yang penuh kedamaian di arah barat dari rumahku. Arah
yang selalu dituju Nek Suni dengan gadis itu.
***
“Subhanallah…
Maha Suci Engkau Ya Allah. Yang Maha tahu tentang segala hal. Sesungguhnya apa
yang sudah ku lihat selama ini? Kenapa justru Nenek Suni tidak melihat hal itu?
Kenapa Nenek Suni tidak menyadari kehadiran gadis itu? Siapa gadis itu? Apa
yang selalu ia lakukan terhadap Nek Suni selama ini?” Ribuan pertanyaan
menggelayut dalam pikiranku. Aku semakin bingung. Kutenggelamkan wajahku dalam
kedua telapak tanganku berharap aku tahu tentang apa yang sudah ku lihat selama
ini.
“Assalamualaikum”
Tiba-tiba suara salam diiringi sentuhan tangan menyentuh pundaku menyadarkan
diriku.
“Wa’alaikum
salam… Ada apa pak?”
Orang yang ku
tanya ini hanya tersenyum dan memberi isyarat agar aku mengikutinya. Aku pun
mengikuti langkahnya. Kami duduk di serambi masjid.
“Ada apa bapak
mengajak saya kemari? Apa saya kenal bapak? Atau mungkin ada hal lain yang
ingin bapak katakan kepada saya?” tanyaku bertubi-tubi kepada bapak ini.
“Tidak enak
ngobrol di dalam masjid. Oleh karena itu aku mengajakmu ke serambi masjid ini.
Bapak tahu apa yang tengah merisaukanmu dan apa yang membuatmu bingung.”
Aku hanya
menatapnya dengan penuh keheranan. Bagaimana mungkin dia tahu, sedangkan aku
tak pernah bercerita kepadanya. Bahkan aku tak mengenalnya.
“Gadis itu
bernama Nila.” Dia memulai ceritanya.
“Gadis?” jawabku
setengah terkaget.
“Dia seorang
gadis yang arif, yang selalu sayang dengan neneknya. Orang tua Nila
menitipkannya pada Nenek Suni. Mereka tergolong dua wanita yang rajin menghuni
masjid ini, setiap waktu.”
“Maksud bapak
gadis itu gadis berkerudung ungu muda?”
“Iya”
“Gadis yang
selalu ku lihat di ujung jalan di sepertiga malam?”
“Iya”
“Lalu, kalau
itu Nila cucu Nenek Suni, kenapa Nenek Suni tidak tahu saat aku bertanya siapa
yang selalu menemuinya setiap pagi itu?”
“Nenek Suni
memang tidak melihatnya.”
“Maksud bapak?”
“Tiga tahun
yang lalu musibah menimpa keluarga Nenek Suni. Cucu satu-satunya, Nila tanpa
diketahui menghilang. Tak ada yang tahu dia kemana. Setelah tujuh hari berlalu
dia kembali pulang. Tapi sayangnya Nila pulang dalam keadaan tidak bernyawa.
Tidak ada yang tahu dia hilang kemana? Dia meninggal sebab apa? Bahkan siapa
yang mengantarnya pulang? Dia tiba-tiba sudah terbaring di depan pintu rumah
dalam keadaan tak bernyawa saat Nenek Suni hendak pergi ke masjid tepat pukul
03.00 dini hari.”
Bagai tersambar
petir aku mendengarnya. Aku hanya tertegun dan kaget mendengar cerita bapak
ini. Seolah tak percaya bahwa gadis itu telah tiada. Yang ku lihat selama ini
ternyata arwah dari Nila.
“Jadi maksud
bapak …” tak sanggup aku melanjutkan kata-kataku.
“Iya. Nila
sudah meninggal. Yang kamu lihat adalah arwah Nila yang mungkin merindukan
neneknya.”
“Tapi dia
tersenyum padaku pak.”
Bapak ini
tersenyum.
“Sebenarnya
setiap pukul 03.00 dini hari dia selalu menghampiri neneknya di depan rumahmu.
Tapi semenjak kamu mengetahui hal itu, dan kamu memperhatikannya, dia merasa
tenang seolah telah menemukan siapa yang akan menemani neneknya setiap kali ia
akan menjalankan sholat malamnya di masjid. Dan itu kamu. Itulah arti dari
senyumannya. Dia berharap kamu bersedia menemani neneknya yang semakin renta.”
“Benarkah
begitu pak?” tanyaku heran dan setengah tidak percaya.
Bapak ini hanya
mengangguk mantap tanpa menjawab.
“Tapi bapak
siapa? Kenapa bapak bisa tahu kalau aku memperhatikannya? Padahal aku tidak
pernah melihat bapak.” Rasa bingung dalam hatiku tak dapat ku tahlukkan.
Sekali lagi,
yang aku tanya hanya tersenyum. Lalu beranjak berdiri dan melangkah
meninggalkanku yang tak mampu mencegahnya. Sambil berlalu dia menoleh kepadaku.
“Ingat nak,
Nila percaya padamu. Temani Nenek Suni tiap harinya. Sebab Nila selalu
mendapati kamu yang selalu istiqomah di waktu itu. Percayalah pada bapak.”
Bapak itu
mengakhiri perkataannya dengan senyum meyakinkanku. Saat aku mengangkat wajahku
usai menunduk untuk mencoba meyakinkan hatiku sendiri bapak itu sudah tidak
ada, entah kemana.
***
Sejak saat itu,
aku benar-benar tak pernah lagi melihat bidadari itu menyapu embun-embun pagi
hari lagi. Sesuai dengan yang disampaikan oleh bapak itu tempo hari, aku mencoba
mempercayainya. Dan aku selalu menemani Nenek Suni ke masjid setiap paginya.
Mungkin memang ini yang diharapkan Nila padaku. Dan mungkin inilah makna dari
senyumnya yang anggun kepadaku.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar