Aku melangkah masuk ke halaman gedung ini dengan
detak jantung yang tak menentu. Ada rasa bahagia, ada pula rasa gunda. Gunda
sebab aku melihat beberapa anak datang dengan orang tua yang menggandeng
tangannya. Entah orang tua kandung atau bahkan mungkin hanya sanak saudara.
Sedangkan aku datang seorang diri. Kulihat suasana ramai orang di dalam gedung
bercat putih bersih dan bertuliskan TPQ Al-Hayat pada papan nama gedung. Aku
memang bukan penduduk asli desa ini. Aku mendapat undangan dari pengurus TPQ
untuk hadir di acara hari ini. Dalam undangan itu bertuliskan acara santunan
yatim piatu.
Aku masih berdiri di samping sepeda yang baru saja
kurobohkan ke tanah, sebab sering kugunakan jatuh, penyangganya jadi rusak.
Maklum, ini sepeda yang dibelikan ayah dan ibuku tiga tahun yang lalu saat aku
kelas tiga Madrasah Ibtidaiyah (MI) ketika aku belum lancar bersepeda dan saat
itu sekitar seminggu sebelum mereka kecelakaan dan akhirnya meninggal dunia.
Dari pengeras suara yang tertata di depan gedung, aku bisa mendengar suara pembacaan tahlil dan puji-pujian lainnya sudah di mulai. Itu artinya aku terlambat.
Dari pengeras suara yang tertata di depan gedung, aku bisa mendengar suara pembacaan tahlil dan puji-pujian lainnya sudah di mulai. Itu artinya aku terlambat.
Aku mulai melangkah ke arah gedung itu setelah
membenarkan kopyahku yang sedikit miring oleh tanganku saat menyekah keringat.
Baju putihku sedikit kotor. Mungkin sebab debu di jalan yang berbaur dengan
keringatku. Beberapa orang kulihat sedang sibuk mendata beberapa orang yang
baru saja hadir sepertiku. Beberapa yang lain kulihat sedang sibuk membagikan
bungkusan yang kutebak isinya adalah jajan. Aku sedikit berlari ke arah pintu
masuk ruangan, sebab aku merasa sudah ketinggalan. Bagiku urusan jajan itu
mudah. Aku bisa memintanya nanti. Tapi...
“Nak, hei Nak...” aku mendengar suara wanita
sedikit berteriak. Aku menoleh.
“Aku?” Aku bertanya dengan isyarat mulut tanpa
suara dengan menunjuk diriku. Wanita yang dari tadi kulihat sibuk dengan pulpen
dan buku di meja terima tamu mengangguk dan melambaikan tangan memberi tanda
padaku untuk mendekat. Aku segera menghampirinya.
“Kau boleh masuk setelah menuliskan namamu
terlebih dahulu di buku pendataan ini.” Dia menjelaskan dengan ramah. Aku
melihat tanda pengenal yang mengalung di lehernya bertuliskan “Panitia”. Aku
tahu aku salah, memang seharusnya mengisi daftar hadir ini terlebih dahulu
untuk memudahkan panitia mendata.
“Nama kamu siapa? Dari desa mana?” Dia mulai
menanyaiku dan siap menulis.
“Faisal dari Desa Suraubaru.” Jawabku sedikit
berteiak untuk menandingi sound pengeras suara yang menggema. Dia lalu
menuliskan namaku di bukunya.
“Ini untukmu.” Suara wanita lain yang ada di
sampingnya, usianya kuperkirakan seusia Ibuku yang sudah meninggal, dia
menyodorkan satu kresek putih bening dengan isi sekotak nasi dan jajan di
dalamnya.
“Terima kasih. Saya sudah boleh masuk?”
“Oh iya, tentu. Masuklah ke pintu masuk ruang
nomor satu. Dan silahkan kamu mencari duduk di antar teman-teman sebayamu.” Dia
menunjukkan padaku pintu bertuliskan nomor 1.
Suasana di dalam ternyata lebih riuh dari pada
yang kubayangkan. Semua orang berkumpul dalam dua ruangan yang dijebol dinding
tripleknya untuk menjadi satu aula pertemuan. Mereka semua turut serta
mengikuti bacaan tahlil yang dibacakan oleh wanita yang belakangan kutahu
namanya Bu Aisyah dari teman yang duduk di sebelahku. Ternyata beliau yang
mengundang, aku melihat nama beliau di undanganku kemarin. Dalam ruangan ini,
ruangan nomor satu lebih banyak dihuni oleh anak-anak sedangkan di ruang dua
lebih banyak dihuni oleh ibu-ibu. Ada yang masih muda ada juga yang sudah
lanjut usia.
Beberapa saat setelah pembacaan tahlil itu
selesai, acara dilanjutkan dengan bacaan sholawat. Pembawa acara memanggil nama
grup sholawat Al-Hidayah untuk menampilkan penampilannya. Grup sholawat yang
dibawakan oleh para wanita ini mengingatkanku pada Ibuku yang dulu semasa aku
masih kecil, aku sering diajaknya ikut serta saat beliau tampil bersama grup
sholawatnya. Seorang teman bernama Ahmad disampingku dengan asiknya menirukan
bait per bait syair yang dilantunkan grup sholawat ini. Sebagian besar yang
hadir juga kulihat dengan riang mengikuti alunan musik. Hati yang tadinya tak
karuan sebab khawatir hanya aku satu-satunya anak yang hadir seorang diri, kini
lebih tenang. Orang di sekitarku begitu ramah. Beberapa anak seusiaku juga
hadir tanpa orang tua. Entah karena tidak diantar atau karena memang sudah
meninggal seperti orang tuaku.
Tiba saat pengajian itu dimulai. Seorang kiai
sepuh memulai pengajiannya dengan bacaan sholawat dan hamdalah. Beliau
menerangkan banyak hal tentang keistimewaan hari ini dan bulan ini. Gaya beliau
yang membawakan pengajian dengan lebih banyak ngobrol dengan kami menjadikan
kami lebih tertarik dengan apa yang beliau sampaikan.
“Nak... Bu... hari ini tanggal berapa?” tanya
beliau kepada para jama’ah.
Kami para anak kecil terdiam sambil sibuk saling
bertanya tanggal satu sama lain. Sedangkan Ibu-ibu serempak menjawab, “Tigaa
Novembeeeerrrr...!!!”
Aku dan anak-anak yang lain serempak menengok ke belakang,
ke ruang dua. Lalu sedetik kemudian menengok ke arah luar, tempat panitia
berkumpul dan tertawa terkekeh-kekeh. Kami tidak paham apa yang ditertawakan
para Ibu-Ibu di luar. Menurut kami memang benar hari ini tanggal 3 November.
Sejurus kemudian Pak Kiai melanjutkan pengajiannya.
“Buuu... Bukan itu yang saya maksud. Tapi
Hijriyahnya tanggal berapaaaa?” Semua tertawa. Menertawakan logat Pak Kiai yang
sedikit geregetan dan menertawakan kepolosan diri masing-masing dalam menjawab
pertanyaan Pak Kiai.
“Berapa, Bu...?” Ulang Pak Kiai.
“Sepuluuuhh Muharrooom.” Jawab serentak para
Ibu-Ibu.
“Berapa, Nak?” Ulang Pak Kiai kepada para
anak-anak.
“Sepuluuuh Muharroooom.” Jawab kami serentak.
“Nahhh Nak, Bu, di hari ini adalah hari yang
sangat istimewa. Hari yang penuh kasih sayang. Kata Rasul, ini adalah hari
kasih sayang. Tapi bukan hari kasih sayang seperti yang biasanya dilakukan oleh
muda-mudi kepada lawan jenisnya dengan tukar-tukar cokelat dan hadiah-hadiah
lain. Yang kata mereka hariiii... hariii... Pal.. Pal.. Apa ya? Hari Pal apa
gitu loh...”
“Valentine Day.” Celetuk anak laki-laki di
belakangku yang postur tubuhnya lebih kecil dariku menjawab kebingungan Pak
Kiai.
“Naahhhh... Apa tadi, Palentin De?”
“Valentine Day.” Jawab anak-anak serempak.
“Yawes itulah. Pokoke ada De De nya begitu. Hari
ini bukan hari kasih sayang yang seperti itu. Melainkan hari untuk saling meningkatkan
kasih sayang bersama keluarga dan hari kasih sayang untuk menyantuni anak yatim
piatu. Yatim itu yang ditinggal meninggal Ayahnya. Piatu itu yang ditinggal
meninggal Ibunya. Kalau yang ditinggal keduanya berarti disebut Yatim
Piaaaaa....?”
“Tuuuu....” Sahut para jama’ah serempak.
“Pak Kiai, boleh saya bertanya?” Aku memberanikan
diri mengangkat tangan untuk bertanya. Pak Kiai mengangguk.
“Kakak saya di rumah juga kan yatim piatu. Tapi
kenapa tidak mendapat undangan ini?”
“Kakak kamu usianya berapa?”
“Emmmm... Nggak tahu. Pokoknya dia sudah besar.
Sebentar lagi dia lulus kuliah.”
Dengan tersenyum Pak Kiai bertutur, “Yatim piatu
yang ada di sini adalah mereka yang belum baligh, Nak.”
“Oooo...” Aku manggut-manggut.
Seorang anak perempuan dari pojok belakang
mengangkat tangan. Seperti meminta izin untuk bicara.
“Pak Kiai saya ingin mengucapkan sesuatu. Boleh?”
“Boleh. Mau dari situ atau maju ke depan, Nak?”
Anak perempuan itu tampak berpikir.
“Emmmm... saya boleh pinjam mic nya, Pak?” Pak
Kiai mengangguk. “Kalau begitu saya maju saja.” Dengan merunduk hormat dan
mengucap kata permisi pada setiap yang dia lewati, anak perempuan itu akhirnya
sampai di hadapan kami semua. Setelah memegang mic dari pak kiai dia mulai
bicara.
“Namaku Lala, sekarang aku kelas 5 SD. Kata Ibuku,
aku yatim sejak usiaku berjalan 2 tahun. Sejak itu hanya Ibuku yang dengan
sabar dan penuh kasih sayang merawatku. Setiap hari aku makan dan jajan dari
hasil penjualan kue ringan buatan Ibuku. Aku yang membantu menjajakannya. Ibuku
memberi izin padaku sejak aku kelas 2 SD. Aku tidak pernah merasakan kasih
sayang seorang Ayah. Kalau pun pernah itu pun saat aku masih bayi. Saat beliau
masih sehat sampai akhirnya meninggal sebab sakit. Dan saat itu tentu aku
sedikit banyak lupa cara Ayah menggendong. Padahal dari cerita Ibu, ayahku
adalah seorang yang baik. Saat beliau masih sehat dan belum memiliki aku
sebagai putri pertamanya, Ayah sering memberikan uang kepada anak-anak tetangga
yang hendak berangkat sekolah. Meski sedikit tapi itu sering dilakukan. Selain
itu, kata Ibu, Ayah adalah penyayang anak-anak. Beliau sering mengajak para
sepupuku bermain bersama, jalan-jalan, dan menikmati hari. Bahkan aku sangat
rindu untuk merasakan lebut tangan Ayah mengusap kepalaku.
“Tapi sayangnya harapan untuk bisa merasakan kasih
sayang beliau di saat aku mulai tumbuh menjadi bocah, saat aku mulai bisa
berlari dan terjatuh, semuanya sirna semenjak ayah pergi meninggalkan aku dan ibu.
Aku sering iri kepada teman-temanku yang bisa memeluk manja ayahnya. Tapi
terkadang aku juga merasa jengkel kepada mereka. Ketika ayah mereka memanjakan
malah mereka mencuekkannya. Meski aku sering iri, tapi aku tetap bersyukur
sebab aku masih memiliki ibu yang terkadang menyulap dirinya menjadi seorang ayah
bagiku.
“Di hari ini aku ingin mengucapkan terima kasihku
pada ibu yang selalu menyayangiku setiap hari. Bahkan semakin sayang dan
semakin sayang padaku. Aku juga ingin berterima kasih kepada semua yang hadir
di sini, kepada yang mengadakan acara ini, terutama yang bershodaqoh untuk
menyantuni kami anak-anak yatim. Aku setiap tahun selalu menunggu hari ini. Aku
merasa bahagia di 10 Muharrom. Di hari ini aku merasa bahwa ayahku menemaniku
sepanjang hari. Mengajakku bermain, memelukku, menciumku, mengusap lembut
kepalaku, dan mengatakan bahwa dari Surga sana dia selalu mencintaiku.”
Perempuan itu tidak mengakhiri ceritanya dengan baik. Dia tidak mampu menahan
air matanya. Dia berlari ke arah belakang memeluk seorang wanita yang sejak dia
berbicara tadi dia selalu memandangnya. Baru aku tahu saat orang-orang berbisik
itu ibunya.
Tidak satupun yang tidak menangis. Semua Ibu-Ibu
dan anak-anak di dalam ruangan ini menangis. Bapak-bapak undangan perangkat
desa dan pengurus pun wajahnya merah bekas tangis. Bahkan aku pun meneteskan
air mata. Betapa aku merasa bahwa aku tidak memiliki siapapun kecuali dirku
sendiri. Bahkan aku sering menyalahkan Allah setiap kali aku merasa kesepian karena
kepergian kedua orang tuaku. Aku tidak pernah menganggap ada kasih sayang
khusus untukku yang yatim piatu ini. Aku selalu menganggap Allah benar-benar
membiarkanku sendirian dengan mengambil kedua orang tuaku.
Pak Kiai tidak banyak melanjutkan pengajiannya.
Setelah menyeka air matanya beliau hanya mengulas sedikit tentang penuturan
anak perempuan itu. Serta berpesan satu hal kepada para jama’ah.
“Betapa kasih sayang kita ini begitu dirindukan
mereka. Betapa mereka bahagia mendapat uluran kita. Itulah sebabnya bagi kita
yang mampu, mari menyisihkan sedikit yang kita punya untuk mereka. Kita hidup
bersama di bumi Allah. Oleh sebab itu, kita pun harus saling menyayangi sesama
ciptaan Allah. Bershodaqoh pada mereka sama halnya dengan bershodaqoh selama
setahun. Selain itu amalan yang paling istimewa di bulan ini adalah berpuasa
mulai tanggal 9 dan tanggal 10 Muharrom. Berpuasa di tanggal 10 Muharrom
pahalanya sama dengan menghapus dosa setahun yang telah lewat. Sedangkan
memulai di tanggal 9 agar ada perbedaan dengan kaum Yahudi yang hanya berpuasa
di tanggal 10 Muharrom”
Acara yang baru kuikuti untuk pertama kalinya ini
membuatku tersadar bahwa Allah selalu mengistimewakan yatim piatu. Bahkan utuk
para yatim piatu, mereka memiliki hari kasih sayang tersendiri. Selama ini aku
selalu mendapat undangan acara ini. Tapi aku selalu menolak hadir. Bagiku
memalukan sebagai anak yatim yang kemudian diundang kemana-mana. Aku tidak
pernah tahu bahwa ternyata justru yatim piatu memiliki keistimewaan tersendiri.
Aku mengikuti acara ini hingga selesai. Di akhir
acara kami berjabat tangan dengan seluruh yang hadir di sini. Betapa pipiku
basah lagi saat uluran tangan mereka satu per satu meraih tanganku. Bergantian
mereka mengusap kepalaku dan kepala yatim piatu yang lain dengan lembut. Entah
energi dari mana yang membuatku merasa bahwa aku teramat istimewa. Aku merasa
ayah dan ibuku hadir di sini. Aku merasa mereka yang sedang memelukku dan
mengusap lembut kepalaku. Aku merasa kasih sayang itu kumiliki seutuhnya.
***
Aku menghampiri dua batu nisan yang berdampingan
dengan bertuliskan nama Amirul dan nama Mariam di mukanya. Dua nama yang
tersorot matahari senja dari balik rindang pohon kamboja itu adalah nama yang
terukir istimewa dalam hidupku. Entah sudah berapa lama aku tidak
mengunjunginya kemari setelah terakhir bersama Kakakku. Setelah itu aku selalu
menolak hadir di sini. Aku selalu merasa bahwa mereka tetap saja tidak pernah
hadir dalam hidupku. Mereka selalu membiarkanku dalam kesepian.
Ternyata aku salah, aku baru menyadari do’a yang
selalu dipanjatkan mereka saat kami berjama’ah. Mereka selalu meminta agar
dimanapun aku berada, aku selalu menjadi yang istimewa, aku selalu menjadi
kesayangan, aku selalu menjadi kebanggaan, dan selalu diliputi ridho Allah.
Hari ini aku merasakannya. Aku menjadi kesayangan seluruh makhluk Allah di bumi
ini. Aku menjadi istimewa di antara mereka.
Aku terduduk di antara keduanya. Sambil
melantunkan ayat Tuhan, kupeluk nisan tak bernyawa ini. Kusisir tiap jengkal
gundukan tanah keduanya. Kubisikkan lirih ucapan terima kasih sudah melahirkan
aku ke dunia ini dengan penuh kasih sayang. Pada mereka kubisikkan lembut,
“Ayah, Ibu, mereka bilang hari ini hari kasih sayang. Aku menyayangi kalian
sampai akhir hayatku. Siapkan satu tempat untukku di sana, di atara kalian.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar