Laman

Senin, 03 November 2014

MEREKA BILANG, INI HARI KASIH SAYANG



Aku melangkah masuk ke halaman gedung ini dengan detak jantung yang tak menentu. Ada rasa bahagia, ada pula rasa gunda. Gunda sebab aku melihat beberapa anak datang dengan orang tua yang menggandeng tangannya. Entah orang tua kandung atau bahkan mungkin hanya sanak saudara. Sedangkan aku datang seorang diri. Kulihat suasana ramai orang di dalam gedung bercat putih bersih dan bertuliskan TPQ Al-Hayat pada papan nama gedung. Aku memang bukan penduduk asli desa ini. Aku mendapat undangan dari pengurus TPQ untuk hadir di acara hari ini. Dalam undangan itu bertuliskan acara santunan yatim piatu.
Aku masih berdiri di samping sepeda yang baru saja kurobohkan ke tanah, sebab sering kugunakan jatuh, penyangganya jadi rusak. Maklum, ini sepeda yang dibelikan ayah dan ibuku tiga tahun yang lalu saat aku kelas tiga Madrasah Ibtidaiyah (MI) ketika aku belum lancar bersepeda dan saat itu sekitar seminggu sebelum mereka kecelakaan dan akhirnya meninggal dunia.
Dari pengeras suara yang tertata di depan gedung, aku bisa mendengar suara pembacaan tahlil dan puji-pujian lainnya sudah di mulai. Itu artinya aku terlambat.
Aku mulai melangkah ke arah gedung itu setelah membenarkan kopyahku yang sedikit miring oleh tanganku saat menyekah keringat. Baju putihku sedikit kotor. Mungkin sebab debu di jalan yang berbaur dengan keringatku. Beberapa orang kulihat sedang sibuk mendata beberapa orang yang baru saja hadir sepertiku. Beberapa yang lain kulihat sedang sibuk membagikan bungkusan yang kutebak isinya adalah jajan. Aku sedikit berlari ke arah pintu masuk ruangan, sebab aku merasa sudah ketinggalan. Bagiku urusan jajan itu mudah. Aku bisa memintanya nanti. Tapi...
“Nak, hei Nak...” aku mendengar suara wanita sedikit berteriak. Aku menoleh.
“Aku?” Aku bertanya dengan isyarat mulut tanpa suara dengan menunjuk diriku. Wanita yang dari tadi kulihat sibuk dengan pulpen dan buku di meja terima tamu mengangguk dan melambaikan tangan memberi tanda padaku untuk mendekat. Aku segera menghampirinya.
“Kau boleh masuk setelah menuliskan namamu terlebih dahulu di buku pendataan ini.” Dia menjelaskan dengan ramah. Aku melihat tanda pengenal yang mengalung di lehernya bertuliskan “Panitia”. Aku tahu aku salah, memang seharusnya mengisi daftar hadir ini terlebih dahulu untuk memudahkan panitia mendata.
“Nama kamu siapa? Dari desa mana?” Dia mulai menanyaiku dan siap menulis.
“Faisal dari Desa Suraubaru.” Jawabku sedikit berteiak untuk menandingi sound pengeras suara yang menggema. Dia lalu menuliskan namaku di bukunya.
“Ini untukmu.” Suara wanita lain yang ada di sampingnya, usianya kuperkirakan seusia Ibuku yang sudah meninggal, dia menyodorkan satu kresek putih bening dengan isi sekotak nasi dan jajan di dalamnya.
“Terima kasih. Saya sudah boleh masuk?”
“Oh iya, tentu. Masuklah ke pintu masuk ruang nomor satu. Dan silahkan kamu mencari duduk di antar teman-teman sebayamu.” Dia menunjukkan padaku pintu bertuliskan nomor 1.
Suasana di dalam ternyata lebih riuh dari pada yang kubayangkan. Semua orang berkumpul dalam dua ruangan yang dijebol dinding tripleknya untuk menjadi satu aula pertemuan. Mereka semua turut serta mengikuti bacaan tahlil yang dibacakan oleh wanita yang belakangan kutahu namanya Bu Aisyah dari teman yang duduk di sebelahku. Ternyata beliau yang mengundang, aku melihat nama beliau di undanganku kemarin. Dalam ruangan ini, ruangan nomor satu lebih banyak dihuni oleh anak-anak sedangkan di ruang dua lebih banyak dihuni oleh ibu-ibu. Ada yang masih muda ada juga yang sudah lanjut usia.
Beberapa saat setelah pembacaan tahlil itu selesai, acara dilanjutkan dengan bacaan sholawat. Pembawa acara memanggil nama grup sholawat Al-Hidayah untuk menampilkan penampilannya. Grup sholawat yang dibawakan oleh para wanita ini mengingatkanku pada Ibuku yang dulu semasa aku masih kecil, aku sering diajaknya ikut serta saat beliau tampil bersama grup sholawatnya. Seorang teman bernama Ahmad disampingku dengan asiknya menirukan bait per bait syair yang dilantunkan grup sholawat ini. Sebagian besar yang hadir juga kulihat dengan riang mengikuti alunan musik. Hati yang tadinya tak karuan sebab khawatir hanya aku satu-satunya anak yang hadir seorang diri, kini lebih tenang. Orang di sekitarku begitu ramah. Beberapa anak seusiaku juga hadir tanpa orang tua. Entah karena tidak diantar atau karena memang sudah meninggal seperti orang tuaku.
Tiba saat pengajian itu dimulai. Seorang kiai sepuh memulai pengajiannya dengan bacaan sholawat dan hamdalah. Beliau menerangkan banyak hal tentang keistimewaan hari ini dan bulan ini. Gaya beliau yang membawakan pengajian dengan lebih banyak ngobrol dengan kami menjadikan kami lebih tertarik dengan apa yang beliau sampaikan.
“Nak... Bu... hari ini tanggal berapa?” tanya beliau kepada para jama’ah.
Kami para anak kecil terdiam sambil sibuk saling bertanya tanggal satu sama lain. Sedangkan Ibu-ibu serempak menjawab, “Tigaa Novembeeeerrrr...!!!”
Aku dan anak-anak yang lain serempak menengok ke belakang, ke ruang dua. Lalu sedetik kemudian menengok ke arah luar, tempat panitia berkumpul dan tertawa terkekeh-kekeh. Kami tidak paham apa yang ditertawakan para Ibu-Ibu di luar. Menurut kami memang benar hari ini tanggal 3 November. Sejurus kemudian Pak Kiai melanjutkan pengajiannya.
“Buuu... Bukan itu yang saya maksud. Tapi Hijriyahnya tanggal berapaaaa?” Semua tertawa. Menertawakan logat Pak Kiai yang sedikit geregetan dan menertawakan kepolosan diri masing-masing dalam menjawab pertanyaan Pak Kiai.
“Berapa, Bu...?” Ulang Pak Kiai.
“Sepuluuuhh Muharrooom.” Jawab serentak para Ibu-Ibu.
“Berapa, Nak?” Ulang Pak Kiai kepada para anak-anak.
“Sepuluuuh Muharroooom.” Jawab kami serentak.
“Nahhh Nak, Bu, di hari ini adalah hari yang sangat istimewa. Hari yang penuh kasih sayang. Kata Rasul, ini adalah hari kasih sayang. Tapi bukan hari kasih sayang seperti yang biasanya dilakukan oleh muda-mudi kepada lawan jenisnya dengan tukar-tukar cokelat dan hadiah-hadiah lain. Yang kata mereka hariiii... hariii... Pal.. Pal.. Apa ya? Hari Pal apa gitu loh...”
“Valentine Day.” Celetuk anak laki-laki di belakangku yang postur tubuhnya lebih kecil dariku menjawab kebingungan Pak Kiai.
“Naahhhh... Apa tadi, Palentin De?”
“Valentine Day.” Jawab anak-anak serempak.
“Yawes itulah. Pokoke ada De De nya begitu. Hari ini bukan hari kasih sayang yang seperti itu. Melainkan hari untuk saling meningkatkan kasih sayang bersama keluarga dan hari kasih sayang untuk menyantuni anak yatim piatu. Yatim itu yang ditinggal meninggal Ayahnya. Piatu itu yang ditinggal meninggal Ibunya. Kalau yang ditinggal keduanya berarti disebut Yatim Piaaaaa....?”
“Tuuuu....” Sahut para jama’ah serempak.
“Pak Kiai, boleh saya bertanya?” Aku memberanikan diri mengangkat tangan untuk bertanya. Pak Kiai mengangguk.
“Kakak saya di rumah juga kan yatim piatu. Tapi kenapa tidak mendapat undangan ini?”
“Kakak kamu usianya berapa?”
“Emmmm... Nggak tahu. Pokoknya dia sudah besar. Sebentar lagi dia lulus kuliah.”
Dengan tersenyum Pak Kiai bertutur, “Yatim piatu yang ada di sini adalah mereka yang belum baligh, Nak.”
“Oooo...” Aku manggut-manggut.
Seorang anak perempuan dari pojok belakang mengangkat tangan. Seperti meminta izin untuk bicara.
“Pak Kiai saya ingin mengucapkan sesuatu. Boleh?”
“Boleh. Mau dari situ atau maju ke depan, Nak?”
Anak perempuan itu tampak berpikir.
“Emmmm... saya boleh pinjam mic nya, Pak?” Pak Kiai mengangguk. “Kalau begitu saya maju saja.” Dengan merunduk hormat dan mengucap kata permisi pada setiap yang dia lewati, anak perempuan itu akhirnya sampai di hadapan kami semua. Setelah memegang mic dari pak kiai dia mulai bicara.
“Namaku Lala, sekarang aku kelas 5 SD. Kata Ibuku, aku yatim sejak usiaku berjalan 2 tahun. Sejak itu hanya Ibuku yang dengan sabar dan penuh kasih sayang merawatku. Setiap hari aku makan dan jajan dari hasil penjualan kue ringan buatan Ibuku. Aku yang membantu menjajakannya. Ibuku memberi izin padaku sejak aku kelas 2 SD. Aku tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Ayah. Kalau pun pernah itu pun saat aku masih bayi. Saat beliau masih sehat sampai akhirnya meninggal sebab sakit. Dan saat itu tentu aku sedikit banyak lupa cara Ayah menggendong. Padahal dari cerita Ibu, ayahku adalah seorang yang baik. Saat beliau masih sehat dan belum memiliki aku sebagai putri pertamanya, Ayah sering memberikan uang kepada anak-anak tetangga yang hendak berangkat sekolah. Meski sedikit tapi itu sering dilakukan. Selain itu, kata Ibu, Ayah adalah penyayang anak-anak. Beliau sering mengajak para sepupuku bermain bersama, jalan-jalan, dan menikmati hari. Bahkan aku sangat rindu untuk merasakan lebut tangan Ayah mengusap kepalaku.
“Tapi sayangnya harapan untuk bisa merasakan kasih sayang beliau di saat aku mulai tumbuh menjadi bocah, saat aku mulai bisa berlari dan terjatuh, semuanya sirna semenjak ayah pergi meninggalkan aku dan ibu. Aku sering iri kepada teman-temanku yang bisa memeluk manja ayahnya. Tapi terkadang aku juga merasa jengkel kepada mereka. Ketika ayah mereka memanjakan malah mereka mencuekkannya. Meski aku sering iri, tapi aku tetap bersyukur sebab aku masih memiliki ibu yang terkadang menyulap dirinya menjadi seorang ayah bagiku.
“Di hari ini aku ingin mengucapkan terima kasihku pada ibu yang selalu menyayangiku setiap hari. Bahkan semakin sayang dan semakin sayang padaku. Aku juga ingin berterima kasih kepada semua yang hadir di sini, kepada yang mengadakan acara ini, terutama yang bershodaqoh untuk menyantuni kami anak-anak yatim. Aku setiap tahun selalu menunggu hari ini. Aku merasa bahagia di 10 Muharrom. Di hari ini aku merasa bahwa ayahku menemaniku sepanjang hari. Mengajakku bermain, memelukku, menciumku, mengusap lembut kepalaku, dan mengatakan bahwa dari Surga sana dia selalu mencintaiku.” Perempuan itu tidak mengakhiri ceritanya dengan baik. Dia tidak mampu menahan air matanya. Dia berlari ke arah belakang memeluk seorang wanita yang sejak dia berbicara tadi dia selalu memandangnya. Baru aku tahu saat orang-orang berbisik itu ibunya.
Tidak satupun yang tidak menangis. Semua Ibu-Ibu dan anak-anak di dalam ruangan ini menangis. Bapak-bapak undangan perangkat desa dan pengurus pun wajahnya merah bekas tangis. Bahkan aku pun meneteskan air mata. Betapa aku merasa bahwa aku tidak memiliki siapapun kecuali dirku sendiri. Bahkan aku sering menyalahkan Allah setiap kali aku merasa kesepian karena kepergian kedua orang tuaku. Aku tidak pernah menganggap ada kasih sayang khusus untukku yang yatim piatu ini. Aku selalu menganggap Allah benar-benar membiarkanku sendirian dengan mengambil kedua orang tuaku.
Pak Kiai tidak banyak melanjutkan pengajiannya. Setelah menyeka air matanya beliau hanya mengulas sedikit tentang penuturan anak perempuan itu. Serta berpesan satu hal kepada para jama’ah.
“Betapa kasih sayang kita ini begitu dirindukan mereka. Betapa mereka bahagia mendapat uluran kita. Itulah sebabnya bagi kita yang mampu, mari menyisihkan sedikit yang kita punya untuk mereka. Kita hidup bersama di bumi Allah. Oleh sebab itu, kita pun harus saling menyayangi sesama ciptaan Allah. Bershodaqoh pada mereka sama halnya dengan bershodaqoh selama setahun. Selain itu amalan yang paling istimewa di bulan ini adalah berpuasa mulai tanggal 9 dan tanggal 10 Muharrom. Berpuasa di tanggal 10 Muharrom pahalanya sama dengan menghapus dosa setahun yang telah lewat. Sedangkan memulai di tanggal 9 agar ada perbedaan dengan kaum Yahudi yang hanya berpuasa di tanggal 10 Muharrom”
Acara yang baru kuikuti untuk pertama kalinya ini membuatku tersadar bahwa Allah selalu mengistimewakan yatim piatu. Bahkan utuk para yatim piatu, mereka memiliki hari kasih sayang tersendiri. Selama ini aku selalu mendapat undangan acara ini. Tapi aku selalu menolak hadir. Bagiku memalukan sebagai anak yatim yang kemudian diundang kemana-mana. Aku tidak pernah tahu bahwa ternyata justru yatim piatu memiliki keistimewaan tersendiri.
Aku mengikuti acara ini hingga selesai. Di akhir acara kami berjabat tangan dengan seluruh yang hadir di sini. Betapa pipiku basah lagi saat uluran tangan mereka satu per satu meraih tanganku. Bergantian mereka mengusap kepalaku dan kepala yatim piatu yang lain dengan lembut. Entah energi dari mana yang membuatku merasa bahwa aku teramat istimewa. Aku merasa ayah dan ibuku hadir di sini. Aku merasa mereka yang sedang memelukku dan mengusap lembut kepalaku. Aku merasa kasih sayang itu kumiliki seutuhnya.
***
Aku menghampiri dua batu nisan yang berdampingan dengan bertuliskan nama Amirul dan nama Mariam di mukanya. Dua nama yang tersorot matahari senja dari balik rindang pohon kamboja itu adalah nama yang terukir istimewa dalam hidupku. Entah sudah berapa lama aku tidak mengunjunginya kemari setelah terakhir bersama Kakakku. Setelah itu aku selalu menolak hadir di sini. Aku selalu merasa bahwa mereka tetap saja tidak pernah hadir dalam hidupku. Mereka selalu membiarkanku dalam kesepian.
Ternyata aku salah, aku baru menyadari do’a yang selalu dipanjatkan mereka saat kami berjama’ah. Mereka selalu meminta agar dimanapun aku berada, aku selalu menjadi yang istimewa, aku selalu menjadi kesayangan, aku selalu menjadi kebanggaan, dan selalu diliputi ridho Allah. Hari ini aku merasakannya. Aku menjadi kesayangan seluruh makhluk Allah di bumi ini. Aku menjadi istimewa di antara mereka.
Aku terduduk di antara keduanya. Sambil melantunkan ayat Tuhan, kupeluk nisan tak bernyawa ini. Kusisir tiap jengkal gundukan tanah keduanya. Kubisikkan lirih ucapan terima kasih sudah melahirkan aku ke dunia ini dengan penuh kasih sayang. Pada mereka kubisikkan lembut, “Ayah, Ibu, mereka bilang hari ini hari kasih sayang. Aku menyayangi kalian sampai akhir hayatku. Siapkan satu tempat untukku di sana, di atara kalian.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar