Laman

Rabu, 04 Januari 2017

SADAR PENUH HADIR UTUH (SARI BUKU)



Judul               : SADAR PENUH HADIR UTUH
Penulis             : Adjie Silarus
Penerbit           : Trans Media Pustaka, Jakarta
Cetakan           : Pertama, 2015

Pendekar yang tangguh hanya terlahir dengan bekal ketenangan, menyadari penuh akan kehadirannya secara utuh. (Hal. xiv)


Hidup bukan hanya tentang mempertahankan dan menggenggam erat, tapi juga perlu mempersiapkan diri untuk melepaskan dan merelakan datang-pergi. Hidup tak hanya terus bergerak dalam riuh, tetapi juga butuh diam dalam hening. Hidup tak melulu tentang tergeesa untuk bertindak, tetapi juga ada kalanya yang bisa kita lakukan hanya bersabar menunggu. Hidup akan menjadi melelahkan jika hanya diisi dengan terus berharap dan berusaha meraih, sehingga dibutuhkan penerimaan segala yang sudah ada dengan penuh rasa syukur. Hidup tak semata hanya bermimpi akan masa depan yang lebih baik, tetapi juga merayakan apa adanya saat ini, di sini-kini. (Hal. xvi)

Seringkali pikiran kita mengembara, saat kembali ke saat ini, kita tidak sadar apa saja yang sudah kita lewatkan. Pikiran sering melayang hingga kita tidak sadar, sudah berapa lama kita terseret dalam lamunan. (Hal. 10)

Mindfulness yaitu sebuah latihan yang membuat kita sadar akan keadaan sekitar, sadar akan suasana, sadar sedang berada di sini, saat ini, sekarang. Jadi, pikiran tidak melayang ke mana-mana, atau bahkan dalam keadaan kososng. (hal. 21)

Kesabaran juga berarti kita tak gegabah, tetapi sadar penuh dalam bereaksi terhadap gangguan dan segala yang tak kita inginkan. Kesabaran memberi kita kebebasan untuk memilih tindakan karena kita mendapatkan waktu dan ruang tambahan sehingga lebih luang nan lapang. (hal. 23)

Dalam hidup akan selalu ada untung-rugi, fitnah-hormat, pujian-kritikan, sakit-nikmat. Marilah kita tak menjadi budak karena itu semua. Saat mulai dierbudak olehnya, berhentilah sejenak, bersabarlah. (hal. 24)

... mempelajari mindfulness, yaitu meningkatkan kesadaran, termasuk menyadari tujuan kita dalam melakukan sesuatu. (hal. 31)

Hanya pikiran malas dan perilaku tak terarah yang akan membuat kita kebingungan dan stres menjalani hidup sehari-hari, terutama menjelang merebahkan badan untuk istirahat di malam hari. (hal. 33)

Mindfulness tidak melatih kita untuk melupakan dan mengingkari hal-hal yang pernah terjadi. Sebaliknya latihan mindfulness akan memunculkan ingatan yang jernih tentang masa lalu, ....
Dengan mindfulness, kita tidak lagi menggunakan pikiran kita sebagai alat untuk menghukum diri dengan rasa bersalah. Kita jadi lebih menyadari bahwa diri kita yang sekarang sudah tidak sama dengan diri kita yang melakukan perbuatan tersebut di masa lalu. (hal. 39)

Juliet Adams, direktur “A Head for Work”, menjelaskan mindfulness dengan singkatan ABC.
Awarness, menjadi lebih menyadari apa yang kita pikirkan, rasakan, dan lakukan, juga lebih menyadari apa yang terjadi di dalam pikiran dan di tubuh kita.
Being, kita menjadi diri apa adanya ...
Creating, menciptakan jarak dari segala yang kita alami dan rasakan. (hal. 51)

Otak Sherlock Holmes tidak ada bedanya dengan otak kita, manusia biasa, yang punya keterbatasan. Hal yang membuat luar biasa adalah Sherlock dengan sangat selektif memilih dan memilah informasi apa saja yang diizinkannya mengisi otaknya. (hal. 58)

Yang seharusnya kita takuti adalah kehidupan di mana kita tidak punya waktu luang untuk menciptakan atau berhubungan dengan sesama secara nyata, bukan maya. (hal. 98)

Seperti kata orang bijak, rasa sakit itu bukan hukuman, rasa senang juga bukan hadiah; keduanya tidak akan abadi. Saat kita memiliki kewaspadaan bahwa realitas sesungguhnya tidak bisa dikategorikan secara permanen sebagai baik/ buruk, kebutuhan yang berlebihan akan optimisme akan berkurang.
Kita memang lebih mampu untuk mendengar, melihat, dan berkata-kata secara realistis, bukan secara optimistis atau pesimistis. (hal. 112)

Cara mudah menyadari kebutuhan untuk merayakan kehidupan adalah saat kita tahu kita sedang merasa bosan, gundah gulana, sedih, kecewa, atau teerpenjara. Bisa jadi itu pertanda sederhana kita butuh mengubah sesuatu di lingkungan kita. (hal. 116)

Seperti penonton yang melihat film. Karena terlalu larut dalam segala yang ada di film tersebut, mereka lupa bahwa yang mereka lihat hanyalah sebuah film. (hal. 124)

Hidup menjadi membosankan jika kita hanya terus mencari pengakuan. (hal. 131)

Tergantung sudut pandang kita tenang tamparan tersebut. Tamparan yang sama akan menjadi berbeda jika kita tahu bahwa tamparan yang satu dari orang yang kita benci, sedangkan tamparan yang lain dari yang kita cinta. (hal. 134)

Kenangan yang terkandung dalam suatu benda-lah yang membuatnya lebih berharga. Cerita yang terjalin dalam suatu hubunganlah yang menjadikannya lebih mampu menciptakan bahagia. (hal. 140)

Dalam buku berjudul Insting Seni, filsuf Denis Dutton menuliskan kurang lebih seperti ini, “Nilai karya seni ditentukan oleh asumsi kita terhadap cerita pencipta karya, yang mendasarinya menciptakan karya seni itu.” (hal. 142)

Ketulusan cinta ialah cinta yang saling memberikan kesempatan untuk merasa bahagia. Tanpa cinta, kita bukanlah siapa-siapa. Jika memang cinta maka tak menuntut balasan. Namanya wirausaha kalau berharap imbalan. (hal. 146)

Menyapa sederhana bukan hanya sebuah ritual yang menjadi rutinitas harian, tetapi juga cara yang baik untuk mewujudkan cinta menjadi nyata. Menyapa sederhana juga secara tak langsung menyatakan bahwa, “ Segala sesuatunya akan baik-baik saja...” (hal. 147)

Kita suka bahkan cinta kepada seseorang, bukan semata karena muka, tapi karena cerita yang telah ia ciptakan dalam kehidupannya. (hal. 153)

Pelukan sering kali punya kemampuan untuk menyatukan serpihan-serpihan menjadi utuh kembali. (hal. 157)

Kemampuan bercanda yang kita punya menjadi salah satu hal untuk memperkuat hubngan dengan sesama, termasuk hubungan dengan orang yang kita cinta. (hal. 162)

Sudah cukup suara-suara kritik keras di dunia ini, sebaiknya kita tidak menjadi salah satu yang menyuarakan hal tersebut. Hadiah berupa sukacita dan tawa yang dapat kita bagikan bahkan dapat kita lakukan saai ini akan menimbulkan riak dan gelombang yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. (hal. 164)

Luangkan waktu walau sejenak, kawan, untuk mengingat saat ada seseorang yang memberimu kesempatan untuk melunakkan hatimu. (hal. 166)

Manusia pada dasarnya mampu menyadari bahwa hatinya penuh welas asih. Hanya, kita tidak mau menyadari itu atau malah sengaja mengumbar benci. (hal. 169)

Luangkanlah waktu, setiap hari, sejenak, diam dalam hening untuk mengamati apa pun yang terjadi, menerima, bukan mengubah apa yang sudah terjadi. (hal. 170)

Dalam sebuah percakapan, agar percakapan menjadi indah nan berkesan, tidak melulu butuh kemampuan berbicara, tetapi juga kemampuan mendengarkan. (hal. 179)

Seni berbicara itu adalah seni menyampaikan hal-hal “ke luar diri”. Adapun seni mendengarkan adalah seni memahami diri sendiri, kembali “ke dalam diri”. (hal. 180)

Mendengar bukanlah tentang menangkap suara-suara dengan telingamu. Lebih dari itu, mendengar adalah menangkap sesuatu di balik suara, sesuatu yang kadang-kadang tak bisa benar-benar ditangkap oleh mereka yang mampu mendengar. –Fahd Djibran- (hal. 181)

Mendengarkan adalah membuat lawan bicara menjadi kawan bicara, tanpa ada rasa cemas mengalami penolakan. Mendengarkan merupakan hadiah spesial yang bisa kita berikan kepada sesama, terutama pada orang-orang yang kita cintai. (hal. 184)

Mendengarkan tanpa tergesa berarti menghargai keunikan orang yang mengajak kita bicara. Bukan hanya memperhatikan isi berupa kata-kata, tetapi juga merasakan emosi di balik setiap kata yang terucap. (hal. 187)

Rasa sakit hati itu diterima, bukan untuk dihindari. Termasuk menerima segala rasa yang tak kita inginkan. (hal. 194)

Menerima bukan berarti menhindar, tetapi menyadari apa pun sensasi yang hadir karena rasa itu. (hal. 195)

Cinta yang kuat adalah cinta yang tidak terlalu menggenggam erat. Karena dengan menggenggam teralu erat, yang mewujud nyata bukanlah cinta, tapi derita. (hal. 196)

Hidup memang perihal bersabar menunggu. Iya, bersabar menunggu adalah sebuah perjuangan. (hal. 201)

Saya teringat sebuah kutipan, “Hidup ini sebenarnya sederhana. Kita, manusialah, yang membuatnya menjadi tidak sederhana.” Semoga kita bersedia untuk belajar berpikir, merasa, dan bertindak dengan sederhana. (hal. 215)

Meskipun tidak menyenangkan, kegalauan yang kita rasakan ini sesungguhnya bukan tanpa fungsi. Sebagaimana halnya reaksi fisiologi tubuh kita, rasa galau adalah “sinyal” yang menandakan bahwa saat ini tengah berlangsung sebuah peristiwa yang mengganggu stabilitas kehidupan kita. (hal. 222)

Tak semuanya mampu kita pahami. Ada kalanya yang mampu kita lakukan hanyalah menerima, tanpa rasa benci. (hal. 224)

Bersyukur adalah sesuatu yang kita latih dan sangat bermanfaat untuk mengalihkan kesadaran sehingga meringankan kemurungan yang sedang kita alami. (hal. 233)

Saat mengubah rutinitas atau kebiasaan, situasi menjadi baru dan akan memaksa pikiran kita untuk memerhatiakan apa pun yang sedang kita lakukan. Itu akan membantu mengarahkan pikiran kita hadir di sini-kini. (hal. 247)

Saat Socrates berkata bahwa dia tidak mengetahui apa-apa, bukan berarti dia menuduh bahwa sistem pendidikan saat itu tidak mampu mendidiknya. Bukan.
Secara tersirat, dia berkata bahwa kita tidak akan bisa mempelajari apa pun jika kita merasa kita tahu segalanya. (hal. 250)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar