Judul : SADAR PENUH HADIR UTUH
Penulis : Adjie Silarus
Penerbit : Trans Media Pustaka, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2015
Pendekar yang
tangguh hanya terlahir dengan bekal ketenangan, menyadari penuh akan
kehadirannya secara utuh. (Hal. xiv)
Hidup bukan hanya
tentang mempertahankan dan menggenggam erat, tapi juga perlu mempersiapkan diri
untuk melepaskan dan merelakan datang-pergi. Hidup tak hanya terus bergerak
dalam riuh, tetapi juga butuh diam dalam hening. Hidup tak melulu tentang
tergeesa untuk bertindak, tetapi juga ada kalanya yang bisa kita lakukan hanya
bersabar menunggu. Hidup akan menjadi melelahkan jika hanya diisi dengan terus
berharap dan berusaha meraih, sehingga dibutuhkan penerimaan segala yang sudah
ada dengan penuh rasa syukur. Hidup tak semata hanya bermimpi akan masa depan
yang lebih baik, tetapi juga merayakan apa adanya saat ini, di sini-kini. (Hal.
xvi)
Seringkali
pikiran kita mengembara, saat kembali ke saat ini, kita tidak sadar apa saja
yang sudah kita lewatkan. Pikiran sering melayang hingga kita tidak sadar,
sudah berapa lama kita terseret dalam lamunan. (Hal. 10)
Mindfulness yaitu
sebuah latihan yang membuat kita sadar akan keadaan sekitar, sadar akan
suasana, sadar sedang berada di sini, saat ini, sekarang. Jadi, pikiran tidak
melayang ke mana-mana, atau bahkan dalam keadaan kososng. (hal. 21)
Kesabaran juga
berarti kita tak gegabah, tetapi sadar penuh dalam bereaksi terhadap gangguan
dan segala yang tak kita inginkan. Kesabaran memberi kita kebebasan untuk
memilih tindakan karena kita mendapatkan waktu dan ruang tambahan sehingga
lebih luang nan lapang. (hal. 23)
Dalam hidup akan
selalu ada untung-rugi, fitnah-hormat, pujian-kritikan, sakit-nikmat. Marilah
kita tak menjadi budak karena itu semua. Saat mulai dierbudak olehnya,
berhentilah sejenak, bersabarlah. (hal. 24)
... mempelajari mindfulness,
yaitu meningkatkan kesadaran, termasuk menyadari tujuan kita dalam melakukan
sesuatu. (hal. 31)
Hanya pikiran
malas dan perilaku tak terarah yang akan membuat kita kebingungan dan stres
menjalani hidup sehari-hari, terutama menjelang merebahkan badan untuk
istirahat di malam hari. (hal. 33)
Mindfulness tidak melatih kita untuk melupakan dan
mengingkari hal-hal yang pernah terjadi. Sebaliknya latihan mindfulness
akan memunculkan ingatan yang jernih tentang masa lalu, ....
Dengan mindfulness,
kita tidak lagi menggunakan pikiran kita sebagai alat untuk menghukum diri
dengan rasa bersalah. Kita jadi lebih menyadari bahwa diri kita yang sekarang
sudah tidak sama dengan diri kita yang melakukan perbuatan tersebut di masa
lalu. (hal. 39)
Juliet Adams,
direktur “A Head for Work”, menjelaskan mindfulness dengan singkatan
ABC.
Awarness, menjadi
lebih menyadari apa yang kita pikirkan, rasakan, dan lakukan, juga lebih
menyadari apa yang terjadi di dalam pikiran dan di tubuh kita.
Being, kita
menjadi diri apa adanya ...
Creating,
menciptakan jarak dari segala yang kita alami dan rasakan. (hal. 51)
Otak Sherlock
Holmes tidak ada bedanya dengan otak kita, manusia biasa, yang punya keterbatasan.
Hal yang membuat luar biasa adalah Sherlock dengan sangat selektif memilih dan
memilah informasi apa saja yang diizinkannya mengisi otaknya. (hal. 58)
Yang seharusnya
kita takuti adalah kehidupan di mana kita tidak punya waktu luang untuk menciptakan
atau berhubungan dengan sesama secara nyata, bukan maya. (hal. 98)
Seperti kata
orang bijak, rasa sakit itu bukan hukuman, rasa senang juga bukan hadiah;
keduanya tidak akan abadi. Saat kita memiliki kewaspadaan bahwa realitas
sesungguhnya tidak bisa dikategorikan secara permanen sebagai baik/ buruk,
kebutuhan yang berlebihan akan optimisme akan berkurang.
Kita memang lebih
mampu untuk mendengar, melihat, dan berkata-kata secara realistis, bukan secara
optimistis atau pesimistis. (hal. 112)
Cara mudah
menyadari kebutuhan untuk merayakan kehidupan adalah saat kita tahu kita sedang
merasa bosan, gundah gulana, sedih, kecewa, atau teerpenjara. Bisa jadi itu
pertanda sederhana kita butuh mengubah sesuatu di lingkungan kita. (hal. 116)
Seperti penonton
yang melihat film. Karena terlalu larut dalam segala yang ada di film tersebut,
mereka lupa bahwa yang mereka lihat hanyalah sebuah film. (hal. 124)
Hidup menjadi
membosankan jika kita hanya terus mencari pengakuan. (hal. 131)
Tergantung sudut
pandang kita tenang tamparan tersebut. Tamparan yang sama akan menjadi berbeda
jika kita tahu bahwa tamparan yang satu dari orang yang kita benci, sedangkan
tamparan yang lain dari yang kita cinta. (hal. 134)
Kenangan yang
terkandung dalam suatu benda-lah yang membuatnya lebih berharga. Cerita yang
terjalin dalam suatu hubunganlah yang menjadikannya lebih mampu menciptakan
bahagia. (hal. 140)
Dalam buku
berjudul Insting Seni, filsuf Denis Dutton menuliskan kurang lebih
seperti ini, “Nilai karya seni ditentukan oleh asumsi kita terhadap cerita
pencipta karya, yang mendasarinya menciptakan karya seni itu.” (hal. 142)
Ketulusan cinta
ialah cinta yang saling memberikan kesempatan untuk merasa bahagia. Tanpa
cinta, kita bukanlah siapa-siapa. Jika memang cinta maka tak menuntut balasan.
Namanya wirausaha kalau berharap imbalan. (hal. 146)
Menyapa sederhana
bukan hanya sebuah ritual yang menjadi rutinitas harian, tetapi juga cara yang
baik untuk mewujudkan cinta menjadi nyata. Menyapa sederhana juga secara tak
langsung menyatakan bahwa, “ Segala sesuatunya akan baik-baik saja...” (hal.
147)
Kita suka bahkan
cinta kepada seseorang, bukan semata karena muka, tapi karena cerita yang telah
ia ciptakan dalam kehidupannya. (hal. 153)
Pelukan sering
kali punya kemampuan untuk menyatukan serpihan-serpihan menjadi utuh kembali.
(hal. 157)
Kemampuan
bercanda yang kita punya menjadi salah satu hal untuk memperkuat hubngan dengan
sesama, termasuk hubungan dengan orang yang kita cinta. (hal. 162)
Sudah cukup
suara-suara kritik keras di dunia ini, sebaiknya kita tidak menjadi salah satu
yang menyuarakan hal tersebut. Hadiah berupa sukacita dan tawa yang dapat kita
bagikan bahkan dapat kita lakukan saai ini akan menimbulkan riak dan gelombang
yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. (hal. 164)
Luangkan waktu
walau sejenak, kawan, untuk mengingat saat ada seseorang yang memberimu
kesempatan untuk melunakkan hatimu. (hal. 166)
Manusia pada
dasarnya mampu menyadari bahwa hatinya penuh welas asih. Hanya, kita tidak mau
menyadari itu atau malah sengaja mengumbar benci. (hal. 169)
Luangkanlah
waktu, setiap hari, sejenak, diam dalam hening untuk mengamati apa pun yang
terjadi, menerima, bukan mengubah apa yang sudah terjadi. (hal. 170)
Dalam sebuah
percakapan, agar percakapan menjadi indah nan berkesan, tidak melulu butuh
kemampuan berbicara, tetapi juga kemampuan mendengarkan. (hal. 179)
Seni berbicara
itu adalah seni menyampaikan hal-hal “ke luar diri”. Adapun seni mendengarkan
adalah seni memahami diri sendiri, kembali “ke dalam diri”. (hal. 180)
Mendengar
bukanlah tentang menangkap suara-suara dengan telingamu. Lebih dari itu,
mendengar adalah menangkap sesuatu di balik suara, sesuatu yang kadang-kadang
tak bisa benar-benar ditangkap oleh mereka yang mampu mendengar. –Fahd Djibran-
(hal. 181)
Mendengarkan
adalah membuat lawan bicara menjadi kawan bicara, tanpa ada rasa cemas
mengalami penolakan. Mendengarkan merupakan hadiah spesial yang bisa kita
berikan kepada sesama, terutama pada orang-orang yang kita cintai. (hal. 184)
Mendengarkan
tanpa tergesa berarti menghargai keunikan orang yang mengajak kita bicara.
Bukan hanya memperhatikan isi berupa kata-kata, tetapi juga merasakan emosi di
balik setiap kata yang terucap. (hal. 187)
Rasa sakit hati
itu diterima, bukan untuk dihindari. Termasuk menerima segala rasa yang tak
kita inginkan. (hal. 194)
Menerima bukan
berarti menhindar, tetapi menyadari apa pun sensasi yang hadir karena rasa itu.
(hal. 195)
Cinta yang kuat
adalah cinta yang tidak terlalu menggenggam erat. Karena dengan menggenggam
teralu erat, yang mewujud nyata bukanlah cinta, tapi derita. (hal. 196)
Hidup memang
perihal bersabar menunggu. Iya, bersabar menunggu adalah sebuah perjuangan.
(hal. 201)
Saya teringat
sebuah kutipan, “Hidup ini sebenarnya sederhana. Kita, manusialah, yang
membuatnya menjadi tidak sederhana.” Semoga kita bersedia untuk belajar
berpikir, merasa, dan bertindak dengan sederhana. (hal. 215)
Meskipun tidak
menyenangkan, kegalauan yang kita rasakan ini sesungguhnya bukan tanpa fungsi.
Sebagaimana halnya reaksi fisiologi tubuh kita, rasa galau adalah “sinyal” yang
menandakan bahwa saat ini tengah berlangsung sebuah peristiwa yang mengganggu
stabilitas kehidupan kita. (hal. 222)
Tak semuanya
mampu kita pahami. Ada kalanya yang mampu kita lakukan hanyalah menerima, tanpa
rasa benci. (hal. 224)
Bersyukur adalah
sesuatu yang kita latih dan sangat bermanfaat untuk mengalihkan kesadaran
sehingga meringankan kemurungan yang sedang kita alami. (hal. 233)
Saat mengubah
rutinitas atau kebiasaan, situasi menjadi baru dan akan memaksa pikiran kita
untuk memerhatiakan apa pun yang sedang kita lakukan. Itu akan membantu
mengarahkan pikiran kita hadir di sini-kini. (hal. 247)
Saat Socrates
berkata bahwa dia tidak mengetahui apa-apa, bukan berarti dia menuduh bahwa
sistem pendidikan saat itu tidak mampu mendidiknya. Bukan.
Secara tersirat,
dia berkata bahwa kita tidak akan bisa mempelajari apa pun jika kita merasa
kita tahu segalanya. (hal. 250)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar