Oleh: Fitrotun Nihlah*
Hari Pendidikan Nasional menjadi sangat berkesan bila kemudian bisa menjadi
momen evaluasi suatu pendidikan di suatu daerah. Pendidikan memang merupakan
faktor yang vital dari beberapa faktor pembangun kecerdasan dan perkembangan
suatu Bangsa. Dalam setiap perjalanannya, suatu pendidikan sudah pasti terus
dievaluasi untuk kemajuannya. Namun, pendidikan dengan sistem yang baik yang
disiapkan oleh pemerintah, dengan kurikulum serta visi dan misi yang sempurna
yang disuguhkan suatu lembaga sebetulnya tidak begitu maksimal bila pelaksana
dari pendidikan tersebut, guru, dalam pelaksanaanya kurang bisa memahami era
yang ada saat ini serta apa yang lebih menonjol diminati oleh peserta didiknya
dalam menerima suatu pendidikan.
Peserta didik yang notabenenya adalah seorang anak-anak yang masil labil
dalam berpikir, jarang ada yang sepenuhnya berpikir bahwa pendidikan pun harus diseriusi.
Mereka lebih berpikir suatu yang asik bagi dirinya, maka pendidikan pun
seharusnya jadi seasik yang mereka mau. Terutama kebanyakan adalah para siswa
tingkat pendidikan menengah. Di mana ada pencarian jati diri dan sekaligus
transisi dari fase remaja menuju pendewasaan. Yang menjadikan mereka sering
mencari sesuatu yang baru yang berada di luar jalur kebiasaan.
Di sini peran guru dalam pendidikan akan sangatlah diperhitungkan. Guru
sebenarnya bertugas bukan hanya mengajar tapi juga mendidik, itu artinya dia
tidak hanya sekadar memberikan ilmunya, melainkan juga mentransfer pengetahuan
dan nilai-nilai moral kepada anak didiknya. Selain itu seorang guru adalah
inspirator dan motivator. Dengan begitu sebenarnya harus ada ikatan bathin
tersendiri antara seorang guru dan muridnya. Sebab tanpa hal tersebut agaknya
akan minim kemungkinan peserta didik menjadikan seorang guru menjadi panutan.
Pendidikan di zaman yang modern kali ini memang sebenarnya tidak menutup
kemungkinan bahwa ilmu bisa didapat dari selain guru. Contohnya saja, ilmu bisa
dipelajari sendiri oleh mereka melalui internet, buku, e-book, diktat,
jurnal, koran, majalah, dan media cetak lainnya. Nah, dalam hal ini bukan
berarti peran guru dalam mendidik akan luntur, justru di sini seorang guru
mulai harus lebih aktif. Kenapa? Sebab, pertama, jangan sampai seorang
guru kalah informasi dari seorang murid. Artinya, guru pun harus membaca. Kedua,
peran guru dipertaruhkan di sini, mendidik mereka dalam berpikir kritis tentang
informasi apa yang mereka dapatkan. Jangan sampai peserta didik “tersesat”
hanya sebab menelan mentah-mentah sebuah informasi yang ia baca. Ketiga,
sebisa mungkin seorang guru memiliki kemampuan serupa dengan sesuatu yang lain
yang kini menjadi “guru” tersendiri dari peserta didiknya. Artinya, selain
mengajar di kelas, guru pun bisa mengajar di luar kelas ke sepenjuru dunia.
Seorang guru juga setidaknya memiliki pemikiran luas dari hasil membacanya tapi
juga memiliki kemampuan menulis yang bisa menuangkan pemikiran dan gagasannya
tersebut.
Tujuannya adalah membaca dan menulis untuk memajukan pendidikan. Dari
oleh-oleh membaca kemudian dituangkan gagasannya melalui tulisan. Bisa dibagi
langsung kepada peserta didiknya, bisa pula diedarkan lebih luas melalui media
online maupun media offline. Hal ini mungkin akan menjadikan ilmu itu bisa
tersebar luas ke sepernjuru dunia.
Tidak bisa dipungkiri kehidupan saat ini sudah sampai pada gelombang
informasi. Seperti yang dikatakan Alvin Toffler dalam bukunya yang berjudul The
Third Wave (1981: 10-11): Dunia bergerak ke arah tiga gelombang: dari
gelombang pertanian, menuju gelombang industri, dan akhirnya sampai kepada
gelombang informasi. Di era informasi inilah pengembangan pendidikan
memiliki peluang besar untuk berkembang pesat. Pasalnya hampir seluruh elemen
manusia mulai menggunakan media internet dan media buku, maupun media cetak
lainnya untuk mencari hal yang tidak mereka ketahui. Dengan adanya ketermudahan
yang sedemikian rupa, seorang guru dan praktisi pendidikan juga jangan sampai
terlena akan hal itu. Jangan sampai hanya ikut menikmati kecanggihan dari suatu
media yang bisa menyebarkan ilmu secara cepat tersebut. Tapi mari mulai
berpikir ikut andil dalam meciptakan produksi ilmu tersebut yang nantinya akan
dikonsumsi oleh jutaan manusia. Dan tidak menutup kemungkinan peserta didik
kita pun bisa menikmatinya.
Pada intinya, seorang guru dalam pengembangan pendidikan hari ini, di era
informasi ini, tidak hanya berperan aktif dalam mentransfer ilmu, lebih-lebih
hanya mengonsumsi ilmu yang sudah jadi. Melainkan ikut andil dalam produksi
ilmu-ilmu tersebut. Membaca dan menulis juga menjadi bagian penting dalam
kehidupan seorang guru. Bagaimana bisa seorang guru meminta peserta didiknya
untuk membaca dan menulis bila orang yang sepatutnya digugu dan ditiru
tidak memberikan contoh terlebih dahulu. Membaca dan menulis akan menjadi tolak
ukur kecerdasan seseorang. Selain mengasah kecerdasan, manfaat lain dari
membaca dan menulis bagi seorang yang mau mempraktikkannya adalah sebuah
ketelatenan dan keuletan dalam menciptakan hal baru dari pemikirannya yang bisa
diterima orang lain.
Ralp Waldo Emerson mengatakan, “Kalau kamu bertemu orang yang sangat
cerdas, tanyalah buku-buku apa yang sudah ia baca.” Ya, buku apa yang ia baca.
Sebuah bacaan menjadikan orang menjadi memiliki kelebihan dari yang lain.
Informasi lebih banyak terserap oleh mereka. Sedangkan untuk menulis, dengan
menulis kecerdasan itu pun teruji, semampu apa mereka menuangkan pemikirannya
menjadi hal yang bisa dibaca. Ingat, eranya adalah era informasi. Peserta didik
lebih sering mencari informasi sendiri dibanding memaksakan diri untuk bertanya
kepada gurunya. Dengan menulis pula, seorang guru mampu mencerdaskan berjuta-juta
manusia tanpa batas, tidak hanya di dalam kelas sekolah, melainkan mencapai
kelas dunia. Imam Ghazali berkata bahwa dengan menulis kita bisa mencerdaskan berjuta-juta manusia tanpa
batas. Hal ini sesuai dengan seorang guru yang memiliki kewajiban mencerdaskan
manusia dalam perkembangan pendidikan suatu bangsa.
*Guru MA Fathul Hidayah Pangean Maduran Lamongan
(fitrotunnihlah@gmail.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar